ADA kehangatan yang tak bisa dijelaskan ketika kita tenggelam dalam halaman demi halaman sebuah buku. Seperti melangkah ke dalam dunia baru, di mana setiap kata adalah lentera yang memandu jalan kita menuju pemahaman.

Senin kemarin (10/2/2025), saya beruntung. Aji, kolega saya, menghadiahi waktu dengan dua buku: Digital Mindset dan Do It Right Now. Dua buku yang mungkin terlihat sederhana, tapi ternyata menyimpan pelajaran hidup yang mendalam.
Digital Mindset membawa saya ke Ethiopia, sebuah negeri di mana tanah berbicara dalam sunyi, dan petani berjuang dari fajar hingga senja.
Di sana, Sarah Merken mengubah nasib banyak orang hanya dengan memahami 30% dari dunia digital. Itu mungkin terdengar kecil, tetapi bukankah perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil?
Dengan laptop di pangkuannya di Manhattan, Sarah membuktikan bahwa jarak bukanlah batas, dan teknologi bukanlah penghalang, melainkan jembatan. Ia tidak sekadar memberikan alat, tetapi memberdayakan mereka dengan pengetahuan dan keyakinan.
Di sisi lain, Do It Right Now hadir seperti suara lembut di telinga, mengingatkan saya akan pentingnya langkah kecil yang sering kita abaikan.
Buku ini tidak memaksa kita berlari, tetapi mengajak kita untuk berjalan dengan kesadaran penuh. Setiap langkah hari ini, sekecil apa pun, adalah benih yang akan tumbuh menjadi pohon rindang di masa depan. Apa yang kita pilih hari ini, menentukan siapa kita esok.
Arah yang Tepat
Dua buku ini menyadarkan saya bahwa hidup bukan tentang seberapa jauh kita berlari, tetapi seberapa tepat arah yang kita ambil.
Membaca membuka cakrawala baru yang tak terduga. Lebih dari sekadar kata-kata, membaca adalah jendela jiwa, perintah pertama dari Sang Pencipta. Allah memulai wahyu-Nya dengan kata Iqra, bacalah.
Bukan sekadar membaca huruf, tetapi memahami hidup, merenungi hikmah, dan mengasah kebijaksanaan.
Namun, di balik keindahan membaca, ada konsekuensi yang tak bisa dihindari: jika kita lalai, kita akan buta.
Bukan buta dalam arti fisik, tetapi buta dalam menentukan arah. Seperti seorang musafir yang berjalan di tengah malam tanpa cahaya, ia akan tersesat, terjebak, bahkan jatuh ke dalam jurang.
Membaca adalah cahaya itu. Cahaya yang menerangi jalan di saat gelap gulita meliputi hati dan pikiran.
Setiap kali saya membuka buku, saya seperti berbincang dengan jiwa-jiwa hebat yang datang dari berbagai zaman. Mereka berbicara, bukan dengan suara, tetapi melalui huruf-huruf yang tertata rapi.
Mereka mengajarkan saya cara bermimpi, berpikir, dan mengambil keputusan yang bijak. Tanpa membaca, hidup hanya menjadi teka-teki kosong yang sulit dipecahkan.
Berputar dalam Lingkaran
Saya teringat sebuah pepatah lama, “Hidup adalah perjalanan panjang, tetapi tanpa bekal ilmu, kita hanya berputar dalam lingkaran.”
Buku adalah bekal itu. Setiap lembaran yang kita baca, setiap paragraf yang kita renungkan, adalah perbekalan untuk melangkah lebih jauh, lebih pasti.
Maka, jika hari ini kita merasa bimbang, takut melangkah, atau tersesat dalam keputusan, mungkin jawabannya sederhana: kembali ke buku, kembali membaca.
Karena di sana, di antara baris-baris kalimat yang sunyi, ada suara yang berbicara kepada kita. Suara yang tidak hanya membimbing langkah, tetapi juga menyentuh hati.
Dan seperti kata Aji ketika menyerahkan buku-buku itu kepada saya, “Membaca adalah investasi masa depan yang tak pernah merugi. Itu yang saya pelajari dari Bappa (cara kami saling memanggil dengan kedekatan)”.
Saya percaya itu. Karena dalam setiap halaman yang saya baca, saya menemukan bukan hanya ilmu, tetapi cahaya. Cahaya yang akan terus menyala, bahkan ketika dunia sekeliling terasa gelap.[]
*) Imam Nawawi, penulis adalah Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah 2020-2023, Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)