SURABAYA – Dalam pidatonya pada Kongres XVII Muslimat NU di Jatim Expo, Surabaya, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan adanya fenomena “raja kecil” di birokrasi pemerintahan yang melakukan perlawanan terhadap kebijakan penghematan anggaran.
Sayangnya Prabowo tidak merinci apakah yang dimaksud ini merujuk pada individu dalam birokrasi yang merasa kebal hukum dan memiliki kewenangan yang mereka gunakan secara sewenang-wenang.
“Saya ingin dihentikan, dibersihkan. Ada yang melawan saya ada. Dalam birokrasi merasa sudah kebal hukum merasa sudah menjadi raja kecil,” kata Prabowo, dalam Kongres XVII Muslimat NU, di Jatim Expo, Surabaya, Senin (10/2/2025).
Prabowo menegaskan bahwa pemerintah sedang berusaha mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan menghilangkan praktik korupsi yang menggerogoti anggaran negara. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah memangkas anggaran yang sering disalahgunakan oleh birokrat untuk kepentingan pribadi. Namun, upaya ini menghadapi perlawanan dari pihak-pihak yang merasa telah berada dalam zona aman kekuasaan dan tidak tersentuh oleh hukum.
Salah satu permasalahan utama dalam birokrasi Indonesia adalah budaya patronase dan feodalisme yang telah mengakar. Dalam struktur birokrasi yang kompleks, individu dengan jabatan tertentu sering kali memiliki kewenangan luas yang tidak diawasi secara ketat, memungkinkan mereka membangun jaringan kekuasaan pribadi. Mereka tidak hanya memiliki kontrol terhadap anggaran dan kebijakan di level tertentu, tetapi juga dapat mempengaruhi keputusan-keputusan strategis yang seharusnya berdasarkan kepentingan publik.
Ketika pemerintah berupaya menghemat anggaran, Prabowo menyoroti bahwa terdapat anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan masyarakat, seperti perbaikan sekolah dan pemenuhan gizi anak-anak Indonesia. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 330.000 sekolah, sementara anggaran yang tersedia hanya mampu memperbaiki 20.000 sekolah.
Angka ini menunjukkan kesenjangan besar dalam perencanaan dan implementasi anggaran negara, di mana prioritas yang seharusnya diberikan kepada pendidikan dan kesejahteraan rakyat sering kali tersisihkan oleh kepentingan pribadi segelintir oknum birokrat.
Untuk mengatasi masalah ini, Prabowo mengusulkan pengurangan perjalanan dinas luar negeri sebagai salah satu langkah penghematan. Ia menekankan bahwa pejabat birokrasi harus mengutamakan kepentingan nasional daripada bepergian ke luar negeri dengan dana negara.
Dalam pidatonya, ia bahkan dengan nada tegas menyatakan bahwa dalam lima tahun ke depan, perjalanan dinas luar negeri tidak perlu dilakukan jika tidak mendesak. Pernyataan ini memperlihatkan pendekatan langsung dan keras dalam menangani inefisiensi pengelolaan anggaran.
Namun, ada pertanyaan yang harus dijawab dalam konteks ini: apakah langkah-langkah penghematan ini cukup untuk mengatasi persoalan yang lebih besar dalam birokrasi? Efisiensi anggaran memang penting, tetapi reformasi birokrasi tidak hanya memerlukan pengurangan pengeluaran, melainkan juga perubahan sistem yang lebih mendasar, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan dana publik.
Dalam sistem birokrasi yang ideal, anggaran negara harus dialokasikan berdasarkan prinsip efektivitas dan kebutuhan yang riil di lapangan. Pemerintah harus memperkuat mekanisme pengawasan internal dan eksternal untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Selain itu, peran lembaga anti-korupsi harus diperkuat untuk menindak tegas individu-individu yang menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Tantangan terbesar dalam memberantas fenomena “raja kecil” di birokrasi adalah membangun budaya kepatuhan terhadap hukum dan etika administrasi publik. Perlawanan dari birokrat terhadap reformasi yang mengancam kepentingan pribadi mereka bukanlah hal yang mengejutkan. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih sistematis diperlukan untuk memastikan bahwa birokrasi bekerja demi kepentingan publik, bukan demi kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Keterlibatan masyarakat sipil juga menjadi faktor penting. Publik harus lebih aktif dalam mengawasi penggunaan anggaran dan menuntut transparansi dari pemerintah. Di era digital saat ini, teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan negara, misalnya melalui platform pemantauan anggaran publik yang memungkinkan warga untuk mengakses dan mengevaluasi alokasi dana pemerintah.
Pernyataan Prabowo tentang fenomena “raja kecil” di birokrasi adalah pengakuan atas permasalahan serius yang selama ini menghambat efektivitas pemerintahan. Namun, untuk memastikan keberhasilan reformasi birokrasi, diperlukan lebih dari sekadar kebijakan penghematan anggaran. Reformasi struktural, peningkatan pengawasan, dan keterlibatan masyarakat adalah elemen kunci dalam membangun pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
Pemerintah harus mengambil langkah lebih jauh dengan memperbaiki sistem rekrutmen dan promosi dalam birokrasi agar berdasarkan meritokrasi, bukan kedekatan politik atau hubungan patronase. Selain itu, regulasi yang lebih ketat dalam pengelolaan anggaran dan hukuman yang lebih tegas bagi pelanggar harus diterapkan agar birokrasi tidak lagi menjadi ladang bagi kepentingan pribadi.
Pada akhirnya, perlawanan terhadap reformasi dalam birokrasi bukanlah hal yang baru, tetapi bukan berarti tidak dapat diatasi. Dengan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan, kita yakin Indonesia dapat membangun birokrasi yang lebih profesional, efisien, dan bertanggung jawab dalam mengelola anggaran negara untuk kepentingan rakyat.
Kita apresiasi komitmen Prabowo atas berbagai kebijakannya yang menyentuh aspek mendasar bagi kepentingan rakyat. Disamping itu, keberhasilan dalam mengatasi fenomena “raja kecil” di birokrasi bukan hanya akan meningkatkan efektivitas pemerintahan, tetapi juga akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
EDITORIAL NASIONAL.NEWS