Menyusuri Pantai Beras Basah, Intimnya Wisata Laut Bontang

Abdul Aziz

Rabu, 28 Mei 2025

Suasana di Bontang Kuala yang merefleksi jingga langit yang menawan (Foto: Abdul Aziz/ nasional.news)

NASIONAL.NEWS — Bontang bukan kota besar. Ia lebih mirip simpul tenang di antara geliat industri dan bentang alam pesisir Kalimantan Timur. Tapi justru dari ketenangan itu, Pulau Beras Basah muncul seperti bisikan lembut yang mengundang: datanglah, dan rasakan apa arti perjalanan yang tidak sekadar wisata.

Sabtu pagi, 17 Mei 2025, langit Bontang cukup cerah. Laut bersahabat. Kami, rombongan keluarga dari komunitas jamaah masjid perumahan, kembali mengulang kenangan lama—menyusun ulang cerita tahun 2019 dalam versi yang lebih luas.

Dulu, hanya sekitar 18 keluarga yang ikut. Kali ini, jumlahnya melonjak menjadi 25 keluarga. Total 70 orang—anak-anak, remaja, ibu-ibu dengan bawaan khas mereka, bapak-bapak dengan tenda dan kotak logistik. Lengkap.

Perjalanan ini bukan hanya soal destinasi, tapi juga soal kedisiplinan yang lahir dari pengalaman. Menjadi ‘EO’ untuk kedua kalinya membuat segalanya terasa lebih tenang.

Tanpa harus membuat daftar ulang dari nol, kami sudah ‘auto’ tahu apa yang perlu dirancang: penginapan, makan malam bersama, armada kapal, dan pembagian waktu selama di Pulau Beras Basah. Semua mengalir sesuai alur. Tidak ada drama logistik. Alhamdulillah.

beras basah bontang5
Suasana di Bontang Kuala (Foto: Abdul Aziz/ nasional.news)

Bontang Kuala Pengantar Menuju Laut

Sebelum menyeberang ke pulau, kami menyempatkan diri mampir ke Bontang Kuala. Kawasan ini adalah perpaduan unik antara permukiman atas air dan pesona estetika lokal.

Rumah-rumah kayu berjajar, tiang-tiang penyangga menciptakan bayang-bayang ritmis di air yang tenang. Di sini, waktu seperti melambat. Anak-anak bermain di jembatan kayu. Orang dewasa menyeruput kopi dari teras rumah.

Bontang Kuala seperti ruang transit yang syahdu. Dari sini, perahu-perahu siap mengantar kami ke pulau kecil yang namanya seindah keeksotisannya: Beras Basah.

beras basah bontang1
Pulau Beras Basah tampak dari kejauhan (Foto: Abdul Aziz/ nasional.news)

Pulau Kecil yang Kaya Cerita

Pulau Beras Basah bukan tempat mewah. Tidak ada resort bintang lima atau fasilitas eksklusif. Tapi itulah kekuatannya.

Kealamian pulau ini menjadi magnet utama. Pasir putihnya halus, seperti butiran beras yang dicuci bersih. Air lautnya jernih, menghamparkan gradasi biru yang menggoda siapa pun untuk terjun dan berenang.

Anak-anak segera bermain pasir. Para ayah mulai membuka tenda. Ibu-ibu menyiapkan bekal makan siang sambil sesekali memotret momen candid.

Kami tidak sedang melancong ke tempat asing, melainkan kembali ke rumah kedua—tempat kenangan dibangun perlahan, melalui percakapan dan kehangatan.

Di kejauhan, mercusuar berdiri tegak. Menjadi penanda bahwa pulau ini bukan sekadar destinasi wisata, tapi juga bagian dari sejarah navigasi maritim.

Beberapa anak penasaran, mencoba mendekat, bertanya tentang fungsinya. Kami jawab sebisanya. Lalu, mengarahkan mereka ke permainan yang lebih aman.

beras basah bontang4
Menapaki jembatan kayu di Pulau Beras Basah sambil menikmati pemandangan laut jauh (Foto: Abdul Aziz/ nasional.news)

Mengelola Wisata, Membangun Peluang

Sepanjang perjalanan ini, muncul satu pikiran yang terus menggelitik: “Kayaknya bisa jadi site income kalau serius di-handle.” Ini bukan sekadar mimpi.

Pengalaman mengelola trip keluarga ini menunjukkan bahwa ada potensi ekonomi yang bisa dioptimalkan. Bukan hanya dari sisi akomodasi atau transportasi, tapi juga dari sisi edukasi, konservasi, bahkan spiritual tourism.

Pulau Beras Basah, jika dipoles dengan etika kelestarian, bisa menjadi laboratorium alami bagi wisata keluarga, komunitas, hingga instansi pendidikan.

Pengelolaan yang baik tidak harus kapitalistik. Justru dengan pendekatan berbasis komunitas, nilai-nilai lokal bisa tetap hidup sambil membuka ruang rezeki yang berkelanjutan.

beras basah bontang3
Mercusuar di Pulau Beras Basah sebagai prasarana navigasi berupa bangunan menara dengan sumber cahaya di puncaknya, berfungsi untuk memandu kapal laut dan mengidentifikasi bahaya di laut, seperti bebatuan atau dangkal (Foto: Abdul Aziz/ nasional.news)

Refleksi dari Laut

Matahari mulai beranjak, kami kembali ke titik kumpul. Badan lelah, tapi hati ringan. Anak-anak sebagian tertidur cepat setelah bermain seharian.

Para ayah berkumpul di satu sudut bentangan, berdiskusi santai. Bukan soal politik atau kerja, tapi tentang bagaimana melanjutkan tradisi ini secara lebih terencana.

Yang jelas, pulau itu telah menanam benih. Bukan hanya di pasirnya yang halus, tapi di hati kami—yang kembali diajak merenungi bahwa Indonesia bukan kekurangan destinasi, melainkan sering kekurangan manajemen yang jujur dan peduli.

Pulau Beras Basah bukan hanya tentang liburan. Ia adalah cermin dari bagaimana komunitas bisa bertumbuh, berkolaborasi, dan membangun impian bersama dari hal-hal yang sederhana.

beras basah bontang
Kapal kecil milik para nelayan yang berlabuh di Pulau Beras Basah (Foto: Abdul Aziz/ nasional.news)

Beras Basah Guru yang Lembut

Di Pulau Beras Basah, laut tak hanya membasuh kaki kami, tapi juga menyentuh bagian hati yang mungkin sudah lama kering oleh rutinitas.

Angin berbisik pelan, seolah berkata: “Kembalilah kapan saja, asal dengan niat yang sama—bersyukur dan berbagi.”

Dan begitulah, di antara pasir putih dan langit biru, kami menemukan sepotong kebahagiaan sederhana. Tak mewah, tapi utuh. Tak megah, tapi membekas.

Jika liburan adalah cara lain untuk kembali mengenali diri dan orang-orang terdekat, maka Beras Basah telah menjadi guru yang lembut—mengajarkan kami bahwa keindahan tak harus jauh, asal dilihat dengan mata yang jernih dan hati yang lapang.

Lain waktu, kami pasti datang lagi. Mungkin dengan jumlah lebih banyak. Mungkin dengan mimpi yang lebih besar.

Tapi satu hal pasti: pulau ini telah kami simpan, rapi dan hangat, dalam ingatan yang akan terus mengapung seperti perahu kecil di lautan kenangan.[]

TERKAIT LAINNYA