PENYERGAPAN sebuah toko obat terlarang yang beroperasi di kawasan Jatisampurna, Bekasi, Jawa Barat, pada Ahad (13/7/2025), oleh jajaran Polsek Cileungsi, menjadi peringatan keras akan lemahnya pengawasan negara terhadap distribusi obat-obatan.
Dalam penggerebekan itu, toko yang berlokasi di area bekas pabrik tersebut diketahui meraup keuntungan antara Rp 4 hingga 10 juta per hari dari penjualan obat-obat tanpa izin edar yang diduga mengandung zat berbahaya.
Data ini bukan hanya mencengangkan dari segi potensi ekonominya, tetapi juga menyingkap lapisan gunung es peredaran obat ilegal yang telah merembes jauh hingga ke pemukiman padat.
Mirisnya, kegiatan ilegal tersebut berlangsung tanpa izin resmi, baik dari Balai POM maupun Dinas Kesehatan setempat. Pelaku memanfaatkan celah distribusi dengan menyasar warga sekitar, sementara pengecernya disebut ada yang dari Purwakarta, Cianjur, dan daerah lainnya di daerah Bogor.
Polisi berhasil menyita ribuan butir obat-obatan keras yang dijual bebas, termasuk tramadol dan hexymer. Obat-obatan ini masuk dalam daftar pengawasan ketat karena efek sampingnya yang dapat merusak sistem saraf, memicu ketergantungan, hingga menyebabkan gangguan kejiwaan jika disalahgunakan.
Fakta bahwa toko tersebut mampu bertahan dan meraup keuntungan besar setiap hari menunjukkan adanya permintaan yang tinggi serta lemahnya deteksi dini oleh otoritas kesehatan dan keamanan.
Kasus ini tidak dapat dipandang sebagai peristiwa kriminal biasa. Ini adalah representasi dari minimnya tata kelola distribusi obat di Indonesia.
Negara seharusnya tidak hanya bertindak reaktif saat sebuah jaringan terungkap, tetapi harus membangun sistem yang mampu mencegah keberadaan jalur distribusi obat ilegal sejak dari hulu.
Luka Lama Bernama Obat Beracun
Penting diingat, Indonesia belum lama ini mengalami tragedi nasional yang berkaitan dengan lemahnya pengawasan terhadap obat-obatan. Pada 2022 lalu, kasus gagal ginjal akut yang merenggut nyawa ratusan anak menjadi sorotan dunia.
Hasil investigasi menunjukkan bahwa tragedi tersebut disebabkan oleh cemaran etilen glikol dan dietilen glikol pada sejumlah obat sirup anak yang beredar luas di pasaran.
Kementerian Kesehatan merilis daftar 91 merek obat sirup yang sempat dikonsumsi oleh para korban. Sebagian besar obat tersebut ternyata mengandung zat pelarut yang tidak memenuhi ambang batas keamanan dan mengakibatkan keracunan akut pada ginjal anak-anak.
Tragedi ini menjadi bukti konkret bahwa lemahnya pengawasan dan distribusi obat bisa berakibat fatal.
Tragedi gagal ginjal akut bukan hanya soal kelalaian teknis, tetapi juga cermin dari kegagalan sistemik. Ia menunjukkan bahwa negara belum memiliki ekosistem pengawasan obat yang kokoh.
Ketiadaan uji laboratorium menyeluruh sebelum produk masuk ke pasar, lemahnya pengawasan distribusi di lapangan, serta minimnya penindakan terhadap pelanggar adalah kombinasi mematikan.
Fenomena Gunung Es
Penggerebekan toko obat ilegal di Bekasi harus dibaca sebagai bagian dari fenomena gunung es. Satu kasus terungkap, sementara yang lain masih tersembunyi di balik kepatuhan semu.
Distribusi obat-obatan keras tanpa resep medis bukan hanya marak di toko ilegal, tetapi juga mulai menyusup ke apotek-apotek yang tidak patuh pada regulasi.
Dalam praktiknya, banyak obat yang seharusnya hanya bisa ditebus dengan resep dokter justru dijual bebas oleh oknum tenaga farmasi.
Situasi ini tidak hanya berbahaya bagi konsumen, tetapi juga merusak tatanan pelayanan kesehatan yang seharusnya berbasis pada prinsip kehati-hatian dan keamanan pasien.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, BPOM, dan aparat penegak hukum, wajib menanggapi hal ini dengan pendekatan sistemik. Tidak cukup hanya dengan razia sporadis, tetapi juga membangun sistem pengawasan berbasis data dan integrasi lintas sektor.
Jangan Ulangi Kelalaian yang Sama
Reformasi sistem pengawasan distribusi obat di Indonesia adalah keharusan. Pemerintah harus meninjau ulang mekanisme perizinan, pengawasan lapangan, hingga sistem audit terhadap apotek dan distributor. Setiap titik distribusi—dari pabrik, gudang, hingga titik eceran—harus berada dalam jangkauan sistem pelacakan digital yang transparan dan akuntabel.
Penting pula bagi pemerintah untuk memperkuat edukasi masyarakat. Warga perlu dilibatkan dalam pengawasan partisipatif, agar tidak lagi menjadi konsumen pasif yang hanya menelan produk tanpa kritis. Mereka perlu tahu bahwa membeli obat sembarangan, apalagi dari sumber ilegal, adalah mempertaruhkan nyawa sendiri.
Kasus Bekasi hanyalah contoh kecil dari masalah besar yang sedang mengintai negeri ini. Bila pemerintah tidak segera bertindak, bukan mustahil tragedi gagal ginjal akibat obat beracun kembali terulang, mungkin dengan bentuk dan korban yang berbeda.
Negara tidak boleh abai. Ketika ratusan anak meninggal akibat sirup beracun, itu sudah menjadi sinyal paling tragis tentang apa yang bisa terjadi bila sistem pengawasan dibiarkan keropos.
Sudah saatnya negara mengambil sikap tegas. Penertiban dan pembersihan terhadap peredaran obat ilegal harus dilakukan secara menyeluruh dan konsisten. Jangan sampai rakyat kembali menjadi korban dari kelalaian institusi yang sejatinya bertugas menjaga keselamatan mereka.