Menelisik Po Adam dalam Sejarah Maritim Aceh dan Hubungannya dengan Amerika Serikat

Rozal Nawafil

Senin, 21 Juli 2025

Rozal Nawafil (Foto: dokpri)

DI PESISIR barat selatan Aceh, di antara gelombang Samudra Hindia yang membawa aroma lada dan rempah-rempah lainnya, terdapat salah satu pelabuhan penting dan berpengaruh di sepanjang Pantai Barat Aceh yaitu Pulau Kayu—atau yang dalam sebutan lokal disebut “Pulo Kayee”. Letaknya strategis di sekitar muara Krueng Susoh, menjadikannya titik penting dalam jalur rempah dunia sejak abad ke-17.

Secara geografis, Pulau Kayu–kini menjadi Gampong Pulau Kayu, Kecamatan Susoh-Kabupaten Aceh Barat Daya–tidak sepenuhnya berbentuk pulau sebagaimana namanya; ia lebih merupakan tanjung yang menjorok ke laut dengan garis pantai yang strategis, menghadap langsung ke jalur pelayaran rempah dunia dari Timur ke Barat.

Nama “Pulau Kayu” dalam terminologi lama mengacu pada banyaknya pohon-pohon besar di kawasan tersebut, yang menjadi ciri dari pelabuhan alami yang terlindung dan kaya hasil hutan, termasuk kayu keras tropis.

Dalam peta kolonial abad ke-19, Pulau Kayu sering tercantum dalam log pelayaran sebagai pelabuhan kecil namun aktif, yang menjadi titik singgah penting bagi kapal-kapal asing, baik Belanda, Inggris, maupun Amerika Serikat, yang menelusuri jalur perdagangan lada dan hasil bumi lainnya dari pesisir barat Sumatra.

Ashmore Map of 1821

Dalam konteks sejarah ekonomi dan politik, Pulau Kayu menjadi titik penting dalam jaringan pelabuhan lada dunia sejak awal abad ke-19. Sejarawan maritim mencatat bahwa kawasan ini menjadi salah satu simpul strategis dalam ekspor lada Aceh ke pasar internasional.

Termasuk dalam pelabuhan-pelabuhan yang disebut dalam “Ashmore Map of 1821“—peta pelabuhan dan pasar lada buatan pelaut Irlandia-Australia, Kapten Samuel Ashmore—Pulau Kayu berdampingan dengan Meulaboh, Kuala Batu, Susoh, Meukek, Tapaktuan, Trumon dan Singkil sebagai pelabuhan lada utama di pesisir barat Sumatra.

Dari pelabuhan inilah kemudian muncul sosok penting, tajam dan penuh teka-teki yang bernama Po Adam, juga dikenal sebagai Teuku Lambada Adam, seorang pemimpin lokal yang mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai Syahbandar Pulau Kayu yang sangat berpengaruh pada dekade awal 1800-an.

Ia mengemuka sebagai figur penting dalam pusaran diplomasi, perdagangan, dan konflik antara lokalitas Aceh dengan kekuatan maritim dunia, khususnya Amerika Serikat. Po Adam menguasai benteng di Pulau Kayu, yang sebelumnya dikuasai oleh Ponee Haiet, sebagai wilayah bawahan dari Quallah Battoo (Kuala Batu–sekarang menjadi Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya).

Nama “Lambada” sendiri merujuk pada wilayah asal usulnya (diduga dari Lambada, Aceh Besar). Sementara itu, dalam buku Voyage of the United States Frigate Potomac, Under the Command of Commodore John Downes, During the Circumnavigation of the Globe, in the Years 1831, 1832, 1833, and 1834; Including a Particular Account of the Engagement at Quallah-Battoo, on the Coast of Sumatra; with All the Official Documents Relating to the Same tulisan Jeremiah N. Reynolds, John Downes 1835 dijelaskan bahwa secara etimologis sebutan Po berarti Bapak. Jadi, “Po Adam” berarti “bapak Adam” — simbol kehormatan menurut adat Melayu/Aceh.

Rumah Po Adam digambarkan sebagai rumah berpalisade (berpagar kayu tinggi), berada di tepi Krueng Susoh dengan indah dan rindang. Struktur bangunan mirip rumah adat Aceh: bertiang, beranda luas, dan dilengkapi tikar, serta ruang tamu yang terhubung ke area privat melalui celah kecil.

Po Adam pernah belajar di permukiman Inggris di Padang, sehingga ia dapat berbahasa Inggris. Setelahnya menjadi pedagang pantai (coasting trader) yang sukses, menjalin hubungan erat dengan pemerintah Aceh dan perdagangan maritim.

Po Adam membangun jaringan komersial langsung dengan Salem, Boston, New York, membentuk simpul dagang global yang independen dari Kesultanan Aceh dan pengaruh kolonial Belanda .

Dalam catatan Belanda, ia disebut berasal dari Kuta Batee (sekarang menjadi wilayah Blangpidie–ibukota Kabupaten Aceh Barat Daya) dan diangkat sebagai syahbandar (kepala pelabuhan) oleh Datuk Mak Ubat– sosok yang ditempatkan Datuk Susoh sebagai kepala wilayah Pulau Kayu–karena keahliannya dalam berdagang dan interaksi dengan pihak luar, khususnya pedagang lada.

Untuk membebaskan Pulau Kayu dari ketergantungan pada jalur melalui Negeri Susoh, ia membangun kanal baru sepanjang 600 meter, dikenal sebagai Aie Bakali. Kanal ini menggantikan Sungai Pinang sebagai jalur pengiriman lada ke laut secara langsung dari hulu hingga pesisir Pulau Kayu. Lada dipanen dan diekspor secara masif, mencapai sekitar 20.000 pikul per tahun, menjadikan Pulau Kayu sebagai salah satu bandar lada utama di Pantai Barat Aceh.

Laporan dari Belanda menyebutkan bahwa Po Adam sering kali menghindari kewajiban membayar pajak kepada Sultan Aceh dan memilih untuk memfasilitasi perdagangan yang bebas dari campur tangan pemerintah Aceh.

“Po Adam, meskipun bukan pejabat resmi dari Sultan, memiliki pengaruh besar terhadap perdagangan lada di daerah Pulau Kayu. Ia menghalangi pengumpulan cukai resmi.” — Memorie van Overgave Resident Tapanoeli, 1832

Lebih Jauh tentang Sosok Po Adam

Nama Po Adam kerap muncul dalam arsip-arsip kolonial dan pelayaran Amerika, yang mencatatnya sebagai Port Master atau Syahbandar, dan terkadang secara tidak akurat menyebutnya sebagai “raja” dari kawasan tersebut.

Po Adam memiliki hubungan yang sangat erat dengan pedagang Amerika yang berdagang di pelabuhan-pelabuhan Aceh. Kapal-kapal Amerika dari Salem, New Bedford, Philadelphia, dan kota pelabuhan lainnya seringkali singgah di pelabuhan Pulau Kayu, tempat Po Adam bertindak sebagai penghubung.

Surat-surat dari pelaut Amerika seperti Captain Charles Endicott mengonfirmasi hal ini, mencatat bahwa Po Adam sangat bersahabat dan dapat dipercaya. Dalam arsip surat-surat pelayaran Salem, Po Adam disebut sebagai “honest fellow, speaks good English, and keeps the Dutch away from our business.”

Menurut korespondensi resmi dari Komandan USS Potomac, Commodore John Downes, Po Adam berperan penting dalam membuka jalur komunikasi antara pemerintah Amerika Serikat dengan para kepala lokal di sepanjang pesisir Aceh pasca-insiden penyerbuan terhadap kapal dagang Friendship di Quallah Battoo pada 7 Februari 1831.

Po Adam membantu Captain Endicott dan kru menyelamatkan diri, dengan pernyataan heroik “if they kill you, they kill Po Adam too.” Ucapan ini melambangkan keberanian Po Adam saat memperingatkan Kapten Endicott dan para awak bahwa ia ikut mempertaruhkan nyawa mereka bersama-sama.

Insiden Friendship tersebut menjadi pemicu Ekspedisi Potomac, ekspedisi militer Amerika pertama ke Asia Tenggara. Ekspedisi ini dipimpin oleh Commodore John Downes dengan frigate USS Potomac.

Po Adam kemudian dipanggil Commodore Downes untuk menerjemahkan dan mengatur pembicaraan damai dengan raja Kuala Batu, Pocut Abdullah (Chadoolah). Namun, Po Adam memperingatkan Downes bahwa kepala suku lokal tidak akan menyerahkan pelaku serangan atau kompenasi secara sukarela, dan menyarankan penggunaan kekuatan sebagai jalan terakhir.

Ketegangan meningkat saat USS Potomac melancarkan serangan malam tanggal 6–9 Februari 1832, meratakan benteng Chadoolah dan menewaskan ratusan orang—termasuk warga sipil—dan menimbulkan kontroversi di Amerika Serikat. Po Adam terlihat memihak dialog, namun akhirnya posisinya tergeser sebagai mediator oleh kekuatan militer.

Karena bantuannya ini, kolektor upeti Aceh yang mendengar peristiwa tersebut menjarah rumah Po Adam saat ia sedang pergi. Po Adam membalas dengan menyerang kapal kolektor tersebut dan menghancurkannya bersama seluruh isinya.

Setelah itu, Po Adam diwartakan sebagai tokoh yang mengalami tekanan besar. Ia tercatat menulis surat ke Salem, Massachusetts, tertanggal 7 Oktober 1841, meminta bantuan dari pedagang lada dan Joseph Peabody, karena dianggap “korban kebencian bangsanya sendiri” pasca membela orang Amerika.

Korespondensi Po Adam

Berikut teks transkrip lengkap surat Po Adam, di alamat Joseph Peabody di Salem, Massachusetts, sebagaimana dikutip dari Voyage of the United States Frigate Potomac, 1835, juga dikonfirmasi oleh arsip Peabody Essex Museum:

QUALAH BATTOO, 7th October, 1841.
Some years have passed since the capture of the Friendship, commanded by my old friend, Capt. Endicott.
It perhaps is not known to you, that, by saving the life of Capt. Endicott, and the ship itself from destruction, I became, in consequence, a victim to the hatred and vengeance of my misguided countrymen; some time since, the last of my property was set on fire and destroyed, and now, not having been the steadfast friend of Americans, I am not only destitute, but an object of derision to my country.
You, who are so wealthy and so prosperous, I have thought, that,… you would not turn a deaf ear to my present condition.
I respectfully beg that you will have the kindness to state my case to the rich pepper merchants of Salem and Boston…
… signed PO ADAM, in Arabic characters.

Artinya :

KUALA BATU, 7 Oktober 1841

Beberapa tahun telah berlalu sejak peristiwa penangkapan kapal Friendship, yang dikomandoi oleh sahabat lamaku, Kapten Endicott.
Barangkali Anda belum mengetahui, bahwa karena menyelamatkan nyawa Kapten Endicott dan menyelamatkan kapalnya dari kehancuran,
saya, sebagai akibatnya, menjadi korban kebencian dan balas dendam dari sesama bangsaku yang tersesat.

Beberapa waktu yang lalu, harta terakhir milikku dibakar dan dihancurkan.
Dan kini, karena aku telah menjadi sahabat setia bangsa Amerika,
aku bukan hanya hidup dalam kemiskinan,
melainkan juga menjadi bahan ejekan di negeriku sendiri.

Anda, yang hidup dalam kekayaan dan kemakmuran,
aku pikir tidak akan menutup telinga terhadap keadaanku saat ini.

Aku dengan hormat memohon agar Anda berkenan menyampaikan keadaanku ini kepada para saudagar lada yang kaya di Salem dan Boston.
Dan jika, dalam keluasan rezeki mereka, mereka berkenan memberikan bantuan kepadaku,
aku akan sangat berterima kasih.

Aku telah meminta Tuan Curtis, dari kapal Propontis,
untuk menerima dan menyampaikan surat atau kiriman apapun yang mungkin Anda hendak kirimkan kepadaku.

Doa-doaku setiap hari adalah untuk kebahagiaan dan kemakmuran negeri Anda.

Saya adalah hamba Anda yang setia,
PO ADAM (ditandatangani dengan aksara Arab)

Selama masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mansursyah (1836–1870), Sultan Aceh mengirimkan utusan untuk memungut upeti (wasee) dari ladang lada di Pulau Kayu melalui Datuk Susoh, tapi kemudian dialihkan kepada Po Adam atau Teuku Lambada Adam selaku Syahbandar.

Upaya pengutipan upeti oleh utusan Sultan dinilai gagal—kapal utusan Aceh yang berlabuh di Pulau Kayu ditenggelamkan dengan meriam dari benteng Po Adam di lokasi yang disebut Lhok Muda Seudang, karena awak kapal tersebut terdiri dari para remaja yang masih lajang.

Atas segala perbuatannya, maka Teuku Lambada Adam kemudian ditangkap oleh utusan Sultan dan dibawa ke Bandar Aceh. Setelah itu seorang yang bernama Teuku Nyak Seh, pimpinan petani lada yang cerdas dan kaya raya dari Pidie, meminta izin kepada Datuk Susoh untuk mengeluarkan lada melalui Bandar Pulau Kayu.

Permohonan itu disetujui dengan syarat harus membayar wasee yang telah ditetapkan. Akan tetapi Teuku Nyak Seh hanya sekali membayar wasee, dan mengakibatkan peperangan dengan Datuk Susoh yang berdampak kemerdekaan bagi negeri Pulau Kayu.

Menarik Potret Po Adam

Po Adam bukanlah tokoh yang dengan mudah dapat dikelompokkan sebagai “pahlawan” atau “pengkhianat.” Ia adalah potret klasik dari seorang tokoh perbatasan: penghubung dua dunia, pengelola kekuasaan lintas budaya, dan korban dari arus sejarah yang tak sepenuhnya ia kendalikan.

Ia adalah saksi dan pelaku dari era ketika lada, bukan emas atau minyak, menjadi penentu peta kekuasaan global. Ketika perahu-perahu dari Salem membelah Samudra Hindia menuju pantai Sumatra, nama Po Adam terpatri dalam benak mereka bukan hanya sebagai rekan dagang, tetapi sebagai simbol dari dunia yang jauh dan penuh kemungkinan.

Secara menarik, keterkaitan antara Po Adam dan Kota Salem di Massachusetts, Amerika Serikat, juga menjadi diskursus akademis kontemporer. Kota Salem, yang dikenal sebagai pelabuhan rumah bagi banyak kapal dagang Amerika pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, menjadikan insiden Friendship dan respons militer Amerika sebagai bagian dari identitas sejarahnya.

Dalam lambang resmi Kota Salem, tampak sosok laki-laki oriental memegang payung, dengan latar pohon palem, laut dan kapal Raja. Banyak sejarawan percaya bahwa figur berjubah tersebut melambangkan “pemimpin lokal di pesisir Sumatra”. Berdasarkan deskripsi waktu, lokasi, dan peran diplomatik, tidak berlebihan jika diasumsikan bahwa sosok ini merepresentasikan Po Adam dari Pulau Kayu.

Keterkaitan Po Adam dengan Amerika Serikat bahkan menjadi sangat simbolis. Salem sendiri pada masa itu adalah pusat dagang maritim utama Amerika, dan tercatat bahwa banyak kapten dari Salem bersandar di pelabuhan Pulau Kayu untuk mengambil muatan lada sebelum melintasi Samudera Hindia menuju New England.

Hubungan ini juga diperkuat oleh teks Latin yang menjadi moto resmi Kota Salem: “Divitis Indiae usque ad ultimum sinum”, yang dapat diterjemahkan sebagai “Menuju pelabuhan terakhir di Kepulauan India yang kaya.”

“Kepulauan India” di sini merujuk pada Hindia Timur (Asia Tenggara), dan “pelabuhan terakhir” secara geografis dapat diasosiasikan dengan pelabuhan-pelabuhan kecil di pesisir barat Sumatra seperti Pulau Kayu, yang menjadi tempat terakhir persinggahan kapal Amerika sebelum kembali ke tanah air.

Bahkan, dalam catatan tahun 1833, Po Adam disebut sebagai the wealthiest merchant of Quallah Battoo dan percaya bahwa Salem adalah negara tersendiri, “one of the richest and most important sections of the globe.” Keyakinan ini menunjukkan betapa kuatnya citra Salem di mata elite lokal yang menjadi mitra dagang utama Amerika di Asia Tenggara.

Sosok Po Adam mulai ramai diperbincangkan kembali pada akhir 2024, ketika warga Salem terbelah: sebagian menilai ikonografi tersebut bermuatan stereotip kolonial, sementara yang lain menganggap Po Adam sebagai simbol persahabatan lintas benua.

Salem City Council akhirnya membentuk City Seal Task Force, yang akan mengkaji ulang lambang yang didesain oleh George Peabody dan diadopsi sebagai Seal Kota Salem pada tahun 1839 tersebut hingga September 2026.

Sebagai figur sejarah lokal yang tidak tercatat dalam kanon sejarah nasional, Po Adam menjadi contoh penting bagaimana pelaku sejarah “kecil” memainkan peran besar dalam relasi global.

Koneksi historis ini menjadi sorotan setelah komunitas sejarah dan budaya di Aceh, menyuarakan keprihatinan atas rencana penghapusan atau perubahan logo Kota Salem tersebut. Bagi mereka, simbol Salem bukan hanya peninggalan visual, tetapi potret masa lalu saat Aceh pernah menjadi bagian penting dari jalur rempah dunia.

Lebih dari sekadar pelengkap kaki catatan sejarah, Po Adam adalah jembatan antara dua dunia: dunia barat yang mengeksplorasi dan menaklukkan, dan dunia timur yang berdagang dan bernegosiasi.

Ia adalah wajah kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah kolonialisme dan globalisasi awal, yang hari ini terpahat bukan hanya di arsip dan buku, tetapi juga dalam simbol kota di belahan dunia lain yang pernah singgah di tanah Aceh: Salem, Amerika Serikat.

Moto Divitis Indiae usque ad ultimum sinum bukan hanya sekadar frasa romantik Latin. Dalam sejarah maritim, orang-orang Salem benar-benar mencapai “teluk-teluk terjauh di Kepulauan India yang kaya”, dan Po Adam adalah orang nyata yang menyambut mereka di ujung pelayaran itu.[]

*) Rozal Nawafil, penulis ASN Pemkab Aceh Barat Daya; Wakil Ketua DPP Aceh Culture and Education

TERKAIT LAINNYA