Pekerjaan Layak Masih Jadi PR Besar di Balik Turunnya Pengangguran

Anchal M. Said

Senin, 28 Juli 2025

Peneliti dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Qisha Quarina, S.E., M.Sc., Ph.D (Foto: Dok. FEB UGM)

NASIONAL.NEWS — Di tengah sorotan media terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak awal 2025, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) justru mencatat penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT).

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) edisi Februari 2025 menunjukkan TPT menurun dari 4,82 persen menjadi 4,76 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Namun, data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 18.000 pekerja kehilangan pekerjaan hanya dalam dua bulan pertama 2025.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana data dan realitas lapangan saling berinteraksi dalam menggambarkan kondisi ketenagakerjaan nasional.

Penjelasan Ahli dari UGM

Merespon hal itu, Qisha Quarina, S.E., M.Sc., Ph.D., dosen dan peneliti dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), mengingatkan agar penurunan TPT tidak dimaknai secara simplistik.

“Meskipun data menunjukkan tingkat pengangguran terbuka menurun, tetapi jumlah pengangguran secara absolut justru mengalami peningkatan,” ujarnya dalam pernyataan resmi di kampus FEB UGM, Senin (28/7).

Ia menjelaskan bahwa pertambahan jumlah penduduk bekerja memang menurunkan proporsi pengangguran dalam statistik, namun tidak menghilangkan fakta bahwa jumlah orang yang tidak bekerja masih bertambah.

Di sisi lain, jelas Qisha, isu pekerjaan layak atau decent job menjadi aspek penting yang masih belum ditangani secara menyeluruh.

Mengutip definisi dari International Labour Organization (ILO), Qisha menekankan bahwa pekerjaan layak mencakup penciptaan lapangan kerja, perlindungan sosial, hak-hak pekerja, dan dialog sosial.

“Sayang, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam keempat aspek tersebut,” ucapnya.

Tantangan Sektor Informal

Qisha lebih lanjut menilai, tantangan paling nyata adalah dominasi pekerja sektor informal. Data Sakernas Februari 2025 menunjukkan 86,58 juta orang bekerja secara informal, jauh melebihi pekerja formal yang berjumlah 59,19 juta.

Kondisi ini, terangnya, diperburuk oleh rendahnya akses terhadap jaminan sosial dan perlindungan hukum.

“Masalah utama kita bukan hanya soal ada kerja atau tidak, tetapi juga soal pekerjaan yang layak,” tegas Qisha.

Ia mencatat hanya 11,57 juta pekerja yang memiliki Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), sementara lebih dari 42 juta lainnya bekerja tanpa kontrak yang jelas, meskipun sebagian besar tetap bekerja lebih dari 35 jam per minggu.

Kelemahan sistemik ini turut terlihat dari rendahnya kepesertaan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Banyak pekerja tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dan tidak mengetahui status perlindungan mereka.

“Tanpa jaminan sosial, mereka sangat rentan menghadapi risiko kerja,” pungkas Qisha.

TERKAIT LAINNYA