Setelah 80 Tahun Dirgahayu Republik Indonesia

NN Newsroom

Rabu, 20 Agustus 2025

Ilustrasi ke mana Indonesia menuju (Foto: Dream Lab Ai/ Dok. Nasional.news)

Ringkasan cakupan

MENJELANG peringatan Dirgahayu ke-80 tahun Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025 lalu, fenomena alam layar yang tidak biasa muncul di ruang publik. Bendera One Piece, yakni Jolly Roger bergambar tengkorak mengenakan topi jerami, berkibar di antara atau menggantikan Merah Putih.

Fenomena ini, pertama dipicu oleh sopir truk sebagai protes atas atas kondisi ekonomi yang kian sulit, dengan cepat meluas menjadi simbol kritik sosial-ekonomi dan politis yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat.

Secara umum, respons pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto melalui Mensesneg Prasetyo Hadi, tergolong seimbang dan tidak reaktif.

Pernyataan “kalau sebagai bentuk ekspresi, ya it’s okay, enggak ada masalah” dikemukakan Prasetyo, seraya mengingatkan bahwa bendera Merah Putih harus tetap dijunjung tinggi dan tak tergantikan.

Ini mengindikasikan kemajuan tata kelola simbolik dibandingkan masa lalu yang kerap memicu polarisasi tajam—seperti kasus “Kami Pancasila”—ketika perbedaan pandangan sering dibingkai sebagai benturan ideologis antara kelompok Islam dan nasionalis.

Di sini pemerintah tampak lebih terbuka terhadap ekspresi damai, tanpa langsung melabeli kritikus sebagai musuh negara. Hal ini menunjukkan kematangan demokrasi dimana di situ ada pengakuan atas pluralitas ekspresi sebagai bagian dari dialog publik.

Tidak pula muncul himbauan represif secara menyeluruh, melainkan penekanan pada keseimbangan antara kebebasan dan penghormatan simbol negara.

Derita Rakyat

Namun demikian, sikap simbolik yang lebih lembut ini tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan pahit yang diteriakkan rakyat mengenai angka kemiskinan, gelombang PHK, dan angkatan kerja produktif yang gagal terserap pasar.

Data BPS per Maret 2025 menunjukkan titik terendah kemiskinan dalam dua dekade terakhir—masih terdapat 23,85 juta orang miskin (8,47 %), meski turun sedikit dari September 2024.

Sementara itu, PHK melonjak tajam, dimana sepanjang semester I 2025, terdapat sekitar 42.385 orang yang kehilangan pekerjaan, meningkat sekitar 32 % dari periode yang sama tahun lalu —dan 52 % dalam data lainnya—dengan konsentrasi tinggi di Pulau Jawa.

Survei GoodStats juga menunjukkan bahwa 67,6 % publik menyatakan diri atau menyaksikan orang di dekatnya mengalami PHK dalam 6 bulan terakhir.

Tambahan lagi, pertumbuhan ekonomi yang 5,12 % pada kuartal II-2025 masih menimbulkan keraguan publik, terutama jika ditilik dari distribusi manfaat yang timpang.

Pemerintah memang sudah membentuk Satgas PHK dan mendorong daya saing industri, namun realitas sosial hari ini tetap menuntut prioritas terhadap jaminan sosial dan penciptaan lapangan kerja yang menyeluruh.

Dalam dimensi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pernyataan kontroversial yang dipandang sebagai tak empatik: menyebut gaji guru dan dosen sebagai “beban negara” dan mempertanyakan apakah partisipasi masyarakat juga perlu dilibatkan, serta menyetarakan pajak dengan zakat dan wakaf.

Terang saja pernyataan Menkeu itu menimbulkan kritik dari pakar pendidikan dan pendidik, yang menilai ada kesan bahwa kesejahteraan guru bukan prioritas negara.

Pernyataan Sri Mulyani itu, meski belakangan diklarifikasi, menambah beban psikologis bagi rakyat yang tengah tercekik oleh krisis sehari-hari.

Rakyat menghadapi ketidakpastian pekerjaan, harga hidup yang belum menentu, dan guru yang kadang dipandang sebelah mata. Dalam situasi seperti ini, pemerintah harus mendengarkan jeritan derita bangsa dengan membuka mata, kuping, dan dada lebar-lebar.

Sikap simbiotik antara membuka ruang ekspresi bendera One Piece dan menjaga simbol kolektif Merah Putih tidaklah cukup jika kesejahteraan rakyat tidak jadi prioritas nyata. Tidak cukup hanya menjaga citra demokrasi simbolik, tapi, lebih dari itu, rakyat menuntut janji politik ditunaikan.

Pada titik inilah pemerintah perlu melakukan transformasi kebijakan substansial dengan memperkuat perlindungan sosial, memperluas kesempatan kerja, memperbaiki distribusi belanja pendidikan, dan menjadikan guru sebagai prioritas nyata, bukan opsi tambahan.

Sebagai seorang demokrat sejati seperti sering diakuinya, Presiden Prabowo tentu memahami betul bahwa reduksi simbol tanpa sentuhan konkret terhadap penderitaan rakyat hanya akan menjadi estetika demokrasi tanpa esensi keadilan.

EDITORIAL NASIONAL.NEWS

TERKAIT LAINNYA