Ujian Janji Lapangan Kerja Prabowo

NN Newsroom

Sabtu, 13 September 2025

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto (Foto: Dok. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekreatriat Presiden)

PRESIDEN Prabowo Subianto baru saja menegaskan komitmennya untuk mempercepat pelaksanaan program-program prioritas pemerintah.

Tekanan politik sekaligus moral untuk menepati janji kampanye jelas terasa, terutama menyangkut penciptaan lapangan kerja baru. Dengan jumlah pengangguran yang masih mencapai jutaan orang, publik menunggu tindakan cepat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,76 persen. Angka ini memang turun tipis 0,06 poin persentase dibandingkan setahun sebelumnya, tetapi tetap berarti ada 7,28 juta orang yang belum bekerja.

Di sisi lain, jumlah penduduk yang bekerja tercatat 145,77 juta orang, naik sekitar 3,59 juta. Namun, meskipun ada perbaikan, Indonesia masih memiliki tingkat pengangguran relatif tinggi di kawasan ASEAN.

Lebih jauh lagi, kualitas pekerjaan pun menjadi sorotan, dengan rata-rata upah buruh sekitar Rp3,09 juta per bulan, angka yang jauh dari cukup untuk menutupi biaya hidup layak di banyak kota besar.

Dalam konteks inilah, janji kampanye Prabowo untuk memperluas lapangan kerja diuji. Publik ingin melihat bukti, bukan sekadar wacana.

Karena itu, percepatan program prioritas pemerintah menjadi salah satu ukuran paling jelas apakah pemerintahan ini mampu menghadirkan perubahan nyata.

Dalam rapat terbatas di Istana Merdeka pada pada Selasa, 9 September 2025, Presiden Prabowo mengumumkan sejumlah program prioritas yang secara langsung ditujukan untuk membuka lapangan kerja. Ada beberapa inisiatif utama yang disorot. Pertama, Koperasi Desa Merah Putih yang ditargetkan mencapai 80.000 unit.

Jika masing-masing koperasi mempekerjakan setidaknya lima orang, maka ada potensi penyerapan 400 ribu tenaga kerja baru. Kedua, program replanting perkebunan rakyat seluas 870.000 hektare, yang diyakini dapat menyerap 1,6 juta tenaga kerja dalam dua tahun mendatang.

Ketiga, Kampung Nelayan Merah Putih dengan target jangka panjang 4.000 titik, yang berpotensi menyerap hingga 200 ribu pekerja.

Ada juga revitalisasi tambak Pantura seluas 20.000 hektare yang berpeluang membuka lebih dari 132 ribu lapangan kerja, serta modernisasi 1.000 kapal nelayan yang diperkirakan menambah hampir 600 ribu pekerjaan.

Jika semua program ini berjalan sesuai rencana, proyeksinya sangat besar, ada jutaan lapangan kerja baru dalam lima tahun pertama pemerintahan.

Secara politik, keberhasilan program ini akan mengukuhkan legitimasi Prabowo di mata rakyat. Namun, secara praktis, implementasi selalu jauh lebih rumit dibanding perencanaan.

Jarak Antara Target dan Capaian

Ada beberapa persoalan mendasar yang perlu dicermati. Pertama, jumlah pengangguran absolut masih tinggi. Penurunan TPT dari 4,82 persen menjadi 4,76 persen hanya berarti pergerakan tipis, padahal beban demografi terus bertambah dengan masuknya jutaan angkatan kerja baru setiap tahun. Angka 7,28 juta penganggur bukan sesuatu yang bisa disepelekan.

Kedua, mutu pekerjaan juga penting. Data BPS menunjukkan sebagian besar tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal, dengan perlindungan sosial dan upah yang rendah.

Artinya, meskipun program padat karya mampu menyerap tenaga kerja, tanpa peningkatan kualitas, pekerja tetap berada dalam kerentanan ekonomi.

Ketiga, pelaksanaan program membutuhkan infrastruktur birokrasi dan finansial yang solid. Program replanting, revitalisasi tambak, dan modernisasi kapal nelayan, misalnya, membutuhkan regulasi yang jelas, alokasi modal, distribusi teknologi, serta pelatihan tenaga kerja. Tanpa kesiapan sistemik, target besar berisiko terhambat, bahkan gagal.

Jika pemerintah berhasil mempercepat pelaksanaan, dampaknya bisa signifikan. Pertanian, perikanan, dan koperasi desa adalah sektor padat karya yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Selain itu, program berbasis desa dan nelayan juga berpotensi mengurangi ketimpangan pembangunan antara kota dan desa, serta memperkuat ekonomi lokal yang lebih tahan krisis.

Selain penyerapan tenaga kerja, program prioritas juga dapat menciptakan efek pengganda ekonomi. Pekerjaan di sektor pertanian dan perikanan akan mendorong aktivitas hilir: logistik, perdagangan, industri makanan, hingga jasa keuangan lokal.

Dengan kata lain, program prioritas bukan hanya soal angka penyerapan tenaga kerja, tetapi juga soal revitalisasi struktur ekonomi rakyat.

Namun semua itu hanya mungkin terwujud jika pemerintah berani mengambil langkah cepat dan tegas. Setidaknya, ada beberapa hal mendesak yang harus dilakukan. Pertama, harus ada percepatan regulasi dan birokrasi agar proyek tidak terhambat izin, tumpang tindih kewenangan, atau lambatnya penyaluran dana.

Kedua, penguatan kapasitas sumber daya manusia, termasuk pelatihan dan pendampingan teknis agar tenaga kerja memiliki produktivitas tinggi.

Ketiga, mesti ada transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah harus rutin melaporkan capaian konkret, bukan sekadar angka proyeksi. Berapa koperasi sudah berdiri, berapa hektare perkebunan sudah direplanting, berapa ribu pekerjaan sudah benar-benar tercipta.

Keempat, memastikan kolaborasi dengan daerah dan swasta, sebab keberhasilan program bergantung pada ekosistem pendukung. Tanpa investasi dan keterlibatan swasta, target jutaan pekerjaan sulit dicapai.

Terakhir, pemerintah harus fokus pada kelompok rentan, seperti generasi muda, perempuan, dan masyarakat miskin di daerah tertinggal. Kelompok inilah yang paling terdampak pengangguran dan membutuhkan akses cepat ke pekerjaan layak.

Percepatan program prioritas adalah ujian pertama pemerintahan Prabowo Subianto. Angka pengangguran memang menunjukkan tren penurunan, tetapi realitas di lapangan masih menyisakan jutaan orang yang tidak bekerja.

Janji kampanye untuk membuka lapangan kerja dalam jumlah besar tidak boleh berhenti pada angka-angka proyeksi. Jika pemerintah mampu bergerak cepat, konsisten, dan transparan, program prioritas bisa menjadi jalan keluar bagi masalah pengangguran sekaligus memperkuat struktur ekonomi rakyat.

Namun, jika implementasi berjalan lambat, kesenjangan antara janji dan realitas akan melebar, dan publik pun kehilangan kepercayaan.

Di titik inilah, politik janji harus diuji oleh politik kerja nyata. Karena pada akhirnya, yang ditunggu rakyat bukan sekadar rencana, melainkan pekerjaan nyata yang bisa mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari.

EDITORIAL NASIONAL.NEWS

TERKAIT LAINNYA