NASIONAL.NEWS — Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam kesehatan masyarakat. Data tahun 2024 mencatat, terdapat 20,4 juta jiwa pengidap diabetes. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi kelima dunia.
Salah satu langkah yang kini menjadi sorotan adalah kebijakan cukai terhadap Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).
“Tujuan yang pertama harapannya, dengan cukai MBDK ini konsumen akan beralih ke produk–produk yang lebih sehat,” kata Ali Winoto, Kepala Seksi Potensi Cukai, dalam keterangannya di laman Universitas Diponegoro (Undip), dikutip Nasional.news pada Kamis (18/9/2025).
Ia menambahkan, kebijakan ini juga mendorong produsen untuk mereformulasi produk rendah gula, melindungi pasar domestik dari gempuran MBDK impor, serta memperkuat kapasitas fiskal untuk mendukung belanja kesehatan.
Isu tersebut menjadi pokok pembahasan dalam seminar bertajuk “Optimalisasi Peranan Cukai Bagi Pembangunan Nasional Melalui Kebijakan Ekstensifikasi Cukai” yang digelar Universitas Diponegoro melalui Direktorat Inovasi, Hilirisasi, dan Kerjasama bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Acara berlangsung di Hall Kewirausahaan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang, Semarang.
Seminar menghadirkan pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta akademisi UNDIP. Fokus utama pembahasan mencakup peran cukai dalam pembangunan nasional, strategi ekstensifikasi cukai, serta kebijakan publik terkait MBDK.
Urgensi Pemahaman Bea Cukai
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Tengah dan DIY, Imik Eko Putro, pada kesempatan itu menegaskan pentingnya pemahaman mengenai cukai.
“Optimalisasi dan ekstensifikasi merupakan istilah cukai. Jadi ini merupakan momen yang bagus untuk menguatkan pemahaman cukai bagi kita semua dan tentunya kita mengharapkan untuk pembangunan nasional,” ucapnya.
Imik menerangkan bahwa cukai adalah beban tarif untuk membatasi konsumsi sekaligus menjadi sumber penerimaan negara.
“Pembatasan itu merupakan salah satu sumber pendapatan penerimaan negara,” jelasnya. Ia memaparkan tiga barang kena cukai di Indonesia: tembakau, rokok elektrik, dan etil alkohol.
Penerimaan cukai dalam tiga tahun terakhir mencapai Rp224 triliun, dengan 95 persen kontribusi berasal dari tembakau. Kudus menjadi penyumbang terbesar karena banyaknya pabrik rokok. Meski demikian, Kementerian Keuangan tengah berupaya mengurangi ketergantungan tersebut melalui kebijakan ekstensifikasi cukai.
Rektor UNDIP, Prof. Dr. Suharnomo, menyampaikan apresiasi terhadap diskusi strategis ini. “Terima kasih untuk paparan yang bermanfaat tentang peran cukai bagi pembangunan nasional,” ucapnya.
Sejumlah Pandangan
Gunawan Tri Wibowo, Kepala Subdirektorat Potensi Cukai dan Kepatuhan Pengusaha Barang Kena Cukai, menekankan fungsi Bea Cukai meliputi fasilitasi perdagangan, perlindungan masyarakat, dan optimalisasi penerimaan negara.
“Jawa Tengah seperti Kendal dan Batang cukup berkembang perihal Kawasan Ekonomi Khusus,” jelasnya, seraya menambahkan insentif yang diberikan pemerintah melalui berbagai fasilitas fiskal dan prosedural.
Ali Winoto kemudian menekankan urgensi cukai MBDK. Objeknya mencakup air teh kemasan, sari buah, minuman energi, hingga minuman bubuk sachet. Selain pengendalian konsumsi, menurutnya, cukai MBDK juga bertujuan memperkuat instrumen fiskal untuk belanja kesehatan.
Dalam sesi penutup, Prof. Ahmad Syakir Kurnia, dosen FEB UNDIP, menyoroti paradoks kebijakan publik.
“Rokok dan minuman pemanis kemasan mengakibatkan diabetes dan obesitas, tetapi konsumsi tetap dibiarkan demi penerimaan negara,” katanya.
Ia menegaskan bahwa cukai bersifat regresif karena lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah.
Prof. Ahmad menyarankan strategi alternatif berupa regulasi kesehatan yang kuat dan edukasi menyeluruh, bukan sekadar menambah daftar penerimaan negara.
Kegiatan ini diharapkan membuka wawasan mahasiswa mengenai peran strategis cukai dalam pembangunan nasional, serta bagaimana kebijakan publik dapat memberikan dampak langsung bagi masyarakat.