Saatnya Tata Kelola Alam, Bukan Sekadar Tanggap Darurat

NN Newsroom

Senin, 1 Desember 2025

Potret banjir longsor Sumatera (Foto: Iggoy El Fitra/ Antara)

BANJIR dan longsor besar di Sumatera pada akhir November ini bukan semata fenomena alam yang harus ditanggapi dengan sekadar upaya darurat. Dinamika kerusakan termasuk video gelondongan kayu besar hanyut bersama air bah menunjukkan bahwa ada penyebab struktural dan antropogenik di balik dampak bencana yang sangat luas. Ini menuntut sebuah investigasi mendalam, bukan retorika solidaritas atau klaim bantuan cepat.

Tantangan utama bukan hanya memperbaiki kerusakan sesaat, tetapi menjawab pertanyaan mendasar, mengapa vegetasi alam demikian terkikis, ruang ekologis tergerus, dan keberlanjutan landscape alam tergantikan pada praktik pengerukan sumber daya, konversi lahan, dan eksploitasi tanpa perhitungan risiko?

Pulau Sumatera selama puluhan tahun menjadi episentrum deforestasi di Indonesia. Meski deforestasi hutan primer di Indonesia tercatat menurun pada tahun 2024 dengan kehilangan “hanya” 242.000 hektar, data ini jangan membuat kita lengah. Penurunan secara nasional tak lantas mencerminkan keselamatan bagi seluruh kawasan, terutama di area tekanan tinggi.

Sementara itu, ekspansi perkebunan kelapa sawit kembali meningkat. Analisis terbaru menunjukkan bahwa industri sawit di 2023–2024 menyeret kembali laju deforestasi, terutama dalam konversi hutan alam menjadi kebun monokultur, termasuk di Sumatera.

Konversi ini memiliki konsekuensi ekologis serius, yakni hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk spesies langka seperti gajah, harimau, dan badak Sumatera, melemahnya fungsi ekosistem sebagai penyerap karbon, serta meningkatnya kerentanan daerah terhadap banjir, tanah longsor, dan erosi.

Dengan demikian, klaim bahwa sawit dapat menggantikan fungsi hutan sebagai “hutan baru” jelas perlu dikaji ulang. Data empiris menunjukkan bahwa monokultur sawit secara struktural berbeda jauh dari ekosistem hutan tropis baik secara biologis, hidrologis, maupun ekologis.

Akumulasi Kerusakan Lingkungan

Bencana besar yang melanda Sumatera tidak bisa dilepaskan dari akumulasi kerusakan lingkungan. Faktor alam seperti curah hujan ekstrem yang dipengaruhi perubahan iklim global mungkin memicu intensitas hujan, tetapi kerusakan ekosistem dan tutupan hutan yang menipis memperbesar dampak. Air deras tak punya ruang serap, aliran sungai tak punya hutan penahan, lereng tanah tak punya penyangga akar.

Indikasi video gelondongan kayu besar hanyut bersama arus banjir menjadi bukti telanjang bahwa deforestasi, ilegal logging, konversi lahan, dan pertambangan, bukan sekadar klaim aktivis, melainkan ancaman nyata yang memperbesar dampak bencana. Oleh karena itu, fokus tanggap darurat harus diimbangi dengan penegakan hukum terhadap pembalakan liar, pertambangan ilegal, dan konversi lahan tanpa izin.

Waktu darurat telah lewat. Saatnya membangun tata kelola lingkungan yang kuat, berbasis ilmu pengetahuan, transparan, dan berkelanjutan. Upaya itu mencakup rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), reforestasi, pemetaan ulang zona rawan bencana, pembatasan aktivitas ekstraktif di kawasan konservasi, dan kerja sama antara instansi kehutanan, lingkungan, geologi, dan hukum.

Perbaikan ini bukan opsi melainkan kewajiban. Karena bencana yang menimpa bukan semata soal alam, tetapi soal kegagalan manusia dalam merawat alam.

Di sisi lain, mengganti hutan alam dengan kebun sawit bukan restorasi ekologis melainkan konversi ekosistem dengan fungsi lingkungan yang jauh lebih lemah, lebih rapuh, dan lebih rentan terhadap gangguan iklim ekstrim. Bila praktik ini terus berjalan tanpa kontrol dan evaluasi ilmiah, kita tidak hanya kehilangan hutan tetapi juga menanam benih bencana di masa depan.

Banjir dan longsor di Sumatera baru-baru ini seharusnya menjadi alarm nasional sebagai panggilan tanggung jawab untuk mengubah paradigma pembangunan dan tata kelola lingkungan. Kita tidak boleh lagi berpikir bahwa alam bisa diperlakukan sebagai cadangan tak terbatas untuk kepentingan manusia.

Pemerintah, pemangku kebijakan, investor, masyarakat, semua memiliki tanggung jawab untuk memprioritaskan keberlanjutan ekologi, penghormatan terhadap ruang hidup, dan perlindungan hak generasi mendatang. Tanpa itu, setiap upaya pembangunan akan menjadi bom waktu yang potensial meledak ketika bencana datang dan pasti datang kembali.

Saatnya menjadikan tragedi November kelabu ini sebagai titik balik. Tetapi titik balik yang dibangun bukan dengan sekadar simposium atau relokasi hunian melainkan dengan kebijakan tegas, restorasi lingkungan, penegakan hukum, dan komitmen kolektif menjaga bumi pertiwi.

EDITORIAL NASIONAL.NEWS

TERKAIT LAINNYA