JAKARTA – Pakar yang juga penggagas studi akademik pertama tentang Islamic Jerussalem (Baitul Maqdis) Prof. Dr. Abdul Fatah El Awaisi mengatakan isu Yerusalem atau Palestina di Indonesia adalah isu yang paling sering dibahas dan diperbincangkan. Hanya saja, selama ini pembahasan lebih banyak yang berfokus pada sisi emosional dibandingkan pendekatan riset akademis.
Hal itu dikemukakan Prof. Dr. Abdul Fattah El Awaisi dalam Forum Dialog Ulama Internasional yang digelar Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional (HLNKI) MUI secara virtual, Selasa (8/3/2022).
Ilmuwan berdarah Inggris-Palestina ini adalah di antara sedikit dari pakar Yerusalem yang mengabdikan diri dalam bidang ini. Salah satu ikhtiarnya adalah mendirikan lembaga bernama Islamic Jerussalem Research Academy (IJRA).
Lembaga ini berfokus melihat masalah yang terjadi di Yerussalem dari sudut pandang ilmiah, tidak semata-mata pandangan emosional.
“Kami memproduksi pengetahuan terkait Yerusalem melalui narasi komprehensif dari berbagai keilmuan, konferensi internasional, buku, monograf, bahkan menerbitkan Journal of Islamic Jerussalem Studies,” ujarnya dalam dialog yang dihadiri Wasekjen MUI Bidang HLNKI Habib Ali Hasan Al Bahar, Ketua Komisi HLNKI Dubes Bunyan Saptomo, serta puluhan akademisi, aktivis, jurnalis, serta ulama dari beberapa daerah di Indonesia.
Kiprahnya di dunia internasional, membuat Guru Besar Social Science University of Ankara tersebut melahirkan 2 teori yang cukup terkenal yaitu Teori Lingkaran Barakah Baitul Maqdis dan Teori Aman (Koeksistensi damai dan saling menghormati).
Melalui jalur akademik, Profesor El Awaisi bisa mengajak semua kalangan lintas agama untuk duduk bersama membahas masalah di Palestina yang tidak pernah selesai. Dia mengajak ilmuwan yang mendalami kajian Yerussalem dalam sebuah jejaring, yang terdiri dari latar belakang agama, afiliasi, bahkan komunitas.
“Kami mengukuhkan jejaring tim internasional dalam kajian Yerussalem, ” ungkapnya.
Ilmuwan yang mengajar di Inggris, Turki, dan Malaysia tersebut mengatakan, ranah akademik sangat dekat kaitannya dengan ranah kekuasaan. Melalui jalur akademik, dia yakin, akan mempengaruhi pihak-pihak yang berkuasa bertindak lebih bijak khususnya dalam merespon perkembangan di Palestina.
“Kekuasaan membutuhkan pengetahuan dan pengetahuan membutuhkan kekuasaan, ” ungkapnya.
Pada kesempatan itu, Prof El Awaisi menyampaikan bahwa dirinya sangat senang dapat berkolaborasi dengan MUI. Menurutnya, studi tentang Baitul Maqdis atau Yerussalem Islam adalah kewajiban bersama dengan kesungguhan hati, sehingga tidak sekadar menjadi tugas.
Acara yang dibuka oleh Sekretaris Komisi HLNKI Andy Hadiyanto dan dimoderatori oleh Wakil Ketua Komisi HLNKI MUI, Oke Setiadi, ini mendapatkan apresiasi dari peserta. Bahkan, Komisi HLNKI MUI sepakat melanjutkan rencana kerja sama dengan Prof El Awaisi dalam bentuk Letter of Intent (LoI) untuk melahirkan riset terkait Yerussalem.
Dubes Yuli Mumpuni Widarso memuji paparan Prof El Awaisi yang singkat dan mendalam terkait Yerusalem. Apresiasi juga datang dari Dosen UGM Siti Mutiah Setiawati, jurnalis senior internasional Dzikrullah W. Pramudya, Presidium Aqsa Working Group (AWG) Muhammad Anshorullah, Da’i Maher Mohammad Saleh, dan Konjen RI di Hamburg, Jerman 2018-2020 Bambang Susanto.
Wakil Ketua Komisi HLNKI MUI, Amirah Nahrawi, menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Prof El Awaisi yang telah mengisi diskusi, dan akan melanjutkan pembicaraan terkait kerja sama antara Komisi HLNKI MUI dengan Islamic Jerussalem Research Academy (ISRA).*