MENJELANG Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 atmosfer politik Tanah Air mulai hangat diperbincangkan. Secara teoritik, pemilu seringkali diartikan sebagai upaya untuk melakukan pembangunan dan pendalaman demokrasi.
Ada beberapa ilmuwan politik yang mengaitkan pemilu sebagai usaha pembangunan demokrasi. Diantaranya Larry Diamond, dalam buku; “Developing Democracy-Toward Consolidation”, ia mengatakan bahwa pemilu merupakan bagian dari pembangunan demokrasi.
Melalui pemilu, “demokrasi secara terus-menerus direvisi, diperbaharui dan dimodifikasi agar sesuai dengan kepentingan rakyat,” kata sosiolog politik ini.
Pembangunan demokrasi melalui pemilu di Indonesia tentu saja belum bisa dikatakan berhasil ataupun dianggap gagal. Walau bagaimanapun, kita adalah negara yang sedang dan masih harus belajar dalam banyak hal, termasuk dalam bidang pemilu.
Konteks Indonesia
Indonesia sendiri sampai dengan saat ini masih dikategorikan sebagai negara “state making”, yaitu negara yang sedang berusaha dan berproses untuk menjadi lebih baik. Entah sampai kapan ikhtiar menjadi lebih baik ini akan terus berjalan, tetapi yang pasti, kita terus melakukan transformasi dalam segala aspeknya.
Dalam konteks pemilu sebagai upaya pendalaman demokrasi, catatan sejarah kepemiluan kita dari masa ke masa sebetulnya sudah memberikan perhatian khusus terhadap hak warga negara dalam politik dan pemerintahan.
Pada tahun 2004 misalnya, kita mengalami pergeseran metode dari pemilu metode close list proportional ke sistem open list proportional. Perubahan sistem proporsional tertutup ke sistem proporsional terbuka ini pada gilirannya melahirkan berbagai dinamika terutama pada metode kandidasi dan partisipasi.
Terutama yang paling menonjol adalah perubahan ini menggeser kekuasaan partai politik. Jika sebelumnya partai politik berkuasa atas penentuan calon, maka penggunaan metode terbuka tergantung kepada suara terbanyak.
Proses demokratisasi lainnya adalah diterapkannya affirmatif action atau politik keberpihakan terhadap perempuan. Sejak pemilu tahun 2004, melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif, untuk pertama kalinya ada afirmasi politik 30% kursi pencalonan partai politik untuk perempuan dan afirmasi 30% perempuan untuk mencapai 30% di parlemen.
Kendati pun sampai dengan saat ini prosentase perempuan di parlemen belum mencapai angka 30%, akan tetapi prospek politik terhadap perempuan merupakan bagian dari proses dan upaya pendalaman demokrasi, dimana hak politik warga diberi ruang dalam politik pemerintahan.
Demokrasi Sehat
Salah satu hal yang mesti dimiliki oleh civil society dalam masyarakat demokratis adalah integritas. Dalam konteks pemilu integritas adalah sikap atau perilaku jujur dan adil (jurdil) sebagai standar etik dan norma moral dalam sebuah tatanan demokrasi yang sehat.
Artinya, orang yang berintegritas harus benar, jujur, dan adil baik itu terhadap diri maupun pada orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu, integritas adalah keniscayaan. Sebab, tanpa penyelenggara, elite politik, dan peserta pemilu yang berintegritas, maka hasil pemilu tentu tidak akan berkualitas.
Hasil pemilu yang tidak berkualitas menyebabkan tiadanya kepercayaan (untrust) masyarakat terhadap kelangsungan proses pemilu terlebih pada pemimpin yang dihasilkan. Proses pemilu yang tidak dilandasi oleh kepercayaan dari masyarakat akan memunculkan oligarki yang membajak kedaulatan rakyat.
Pemilu yang berintegritas adalah sarana dimana rakyat memberikan amanah kepada para pemimpin yang berdaulat. Bukan para pemimpin yang dipilih oleh rakyat, tetapi rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Pemilu yang berintegritas semacam ini akan menghasilkan kualitas pemimpin yang baik pula.
Namun salah satu persoalan krusial dalam kelangsungan proses politik kita adalah adanya keterputusan elektoral antara pemilih dan yang dipilih. Adanya demarkasi ini akhirnya mau tidak mau memunculkan problem interaktif dimana keputusan politik seringkali tak setarikan nafas dengan apa yang menjadi harapan publik.
Nihilnya hubungan antara pemilih dan pemimpin yang dipilih akhirnya melahirkan keterputusan elektoral. Asbabnya bukan saja karena masih maraknya praktik politik uang dan politik transaksional dengan para pemilik modal, tetapi memang ada problem kapasitas dan kapabilitas dari kandidat itu sendiri.
Akibat krusialnya kemudian adalah aspirasi pemilih/rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak tersampaikan dalam pengambilan kebijakan publik. Kalau rakyat selaku pemilik kedaulatan tidak lagi berkuasa, maka hal ini menjadi penanda lonceng kematian demokrasi di Indonesia.
Politik tanpa mengutamakan integritas akan memunculkan rivalitas perebutan kekuasaan yang mengabaikan nilai-nilai moral. Bila nilai-nilai moral diabaikan, politik akan memunculkan lupus-lupus yang saling memangsa antara sesama. Menengok pada pemilu yang lalu persaingan ketat antar kandidat dalam Pilpres memunculkan satire merendahkan satu dengan yang lainnya.
Istilah cebong dan kampret mewarnai kampanye Pilpres dan menunjukkan rendahnya moralitas elite politik. Kata cebong (anak katak) diviralkan untuk menjelekkan para pendukung Jokowi.
Sebaliknya, sebagai balasan atas sindiran pendukung Prabowo tersebut dimunculkanlah istilah kampret. Kata kampret (anak kelelawar) adalah julukan untuk para pendukung Prabowo yang katanya hanya bisa berkoar-koar.
Perang sindiran yang merendahkan antar para pendukung dalam kampanye Pilpres tersebut telah membelah masyarakat bahkan tokoh politik menjadi dua kubu yang saling hujat penuh olok olok. Hal ini mengindikasikan bahwa elite politik tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.
Bila berpolitik tidak mengutamakan integritas dan kredibilitas, maka demokrasi sehat yang diharapkan hanya akan memunculkan manusia kanibal yang gemar memangsa siapapun. Hobbes, menyebutnya dengan istilah ‘manusia buas, disebut dengan serigala (lupus).
Dalam imaji Hobbes, manusia adalah serigala yang tidak bisa diatur dan bertendensi saling memangsa. Oleh karena itu Hobbes menjuluki dengan istilah homo homini lupus – manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Akhir kata, sebagai sebuah negara bangsa (nation state) kita mengharapkan adanya keteraturan dalam sistem demokrasi yang kita anut yakni demokrasi yang sehat sebagaimana amanat Pancasila sebagai falsafah dalam berbangsa dan bernegara.