Perempuan Dayak Minta Pembangunan di Bumi Borneo tak Merusak Hutan

0
688
Foto 1
Ketua Umum LPDN Nyelong Inga Simon (kedua kiri) menyerahkan buku berjudul “Perempuan Dayak untuk Indonesia” kepada Deputi Bidang Pengkaijan Strategik Lemhanas Prof Reni Mayerni (kiri) disaksikan Sekretaris Umum LPDN Maria Goretty Nereng (kedua kanan) saat acara Focus Group Discussion (FGD) di Gedung Lemhanas RI Jakarta, Kamis, 31 Agustus 2023 (FOTO: Istimewa/ Nasional.news)

JAKARTA – Organisasi Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) meminta pembangunan di Bumi Borneo termasuk kawawan Ibu Kota Nusantara (IKN) hendaknya tidak merusak hutan yang notabene sebagai sumber kehidupan bagi suku Dayak.

Berkenaan dengan hal ini, Ketua Umum LPDN Nyelong Inga Simon pun mengingatkan pemerintah, otorita IKN, penanggung jawab pembangunan food estate, pertambangan, serta perkebunan sawit agar tidak mengeksploitasi hutan dan alam Bumi Borneo.

“Dalam melaksanakan pembangunannnya harus diselaraskan dengan situasi dan kondisi sosial budaya lokal dan adat istiadat suku setempat dalam hal ini Dayak,” kata Inga dalam keterangannya diterima Nasional.news, Rabu (6/9/2023).

Inga mengatakan mendukung pembangunan ibu kota baru di bumi Borneo, namun ia menekankan pembangunan yang dilakukan di Bumi Borneo harus selaras dengan sosial dudaya suku lokal.

Dia menilai proyek pembangunan ibu kota baru IKN juga ragam proyek lain seperti food estate, pertambangan, dan juga perkebunan sawit memiliki potensi dampak besar terhadap lingkungan, termasuk berkurangnya kawasan hutan dan penurunan kualitas ekosistem.

Dalam situasi seperti itu, Inga menegaskan, penting untuk memahami peran perempuan Dayak dalam pelestarian hutan dan bagaimana dapat berkontribusi dalam merancang rencana pembangunan yang berkelanjutan.

Hal ini menurutnya semakin penting mengingat pencapaian 20 tahun social forestry perlu ditindaklanjuti sesegera mungkin.

“Jika hutan itu punah, maka punahlah segala budaya dan sumber makanan orang Dayak,” tegas Inga selepas FGD bersama Lemhanas RI yang mengusung tema ‘Pemberdayaan Perempuan Dayak: Menjaga Kelestarian Hutan Dalam Rangka Pembangunan IKN’ di Lemhanas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Berkenaan dengan itu, LPDN meminta pemerintah serta ragam proyek yang mengeksploitasi hutan dan alam Bumi Borneo untuk memberikan jaminan bahwa semua pembangunan tersebut telah mempertimbangkan perspektif budaya lokal dengan tetap menjaga ketahanan sosial budaya suku Dayak.

“Artinya semua jenis pembangunan yang berkenaan dengan alam dan hutan Borneo harus ada jaminan bahwa budaya Dayak tidak luntur atau punah dengan majunya inovasi teknologi maupun hal yang menjadi konsentrasi pembangunan IKN serta program pembanunan lain di alam Kalimantan,” ungkapnya.

Lebih jauh Nyelong Inga Simon berharap dilibatkannya perempuan Dayak dalam dalam hal menjaga hutan di Indonesia secara umum dan secara khusus di Kalimantan. Sebab, menurutnya, perempuan Dayak memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian, serta pemberdayaan lingkungan dan hutan.

“Tak hanya sebatas pembangunan IKN, namun juga termasuk food estate, perkebunan sawit, dan lainnya diharapkan juga selaras dengan aspek sosial ekonomi dari perempuan Dayak,” imbuh dia.

Inklusivitas dan Pelibatan Perempuan Dayak

Lebih jauh Nyelong Inga Simon memandang bahwa yang tepat untuk mengelola hutan adalah perempuan Dayak, utamanya dalam hal menjaga kelestarian, penguatan, dan pemberdayaan.

“Untuk mengisi pembangunan IKN tak lepas dari aspek sosial ekonomi yang dimiliki perempuan Dayak. Dan secara khusus dalam menjaga hutan terdapat model agroforestry yang telah menjadi prioritas untuk dijalankan,” jelasnya.

Dalam kesempatan FGD yang sama, Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia 1999– 2001, Alexander Sonny Keraf menyebut pembangunan IKN harus mengedepankan inklusivitas. Termasuk aspek pemberdayaan masyarakat lokal dari sisi sosial budaya.

“Sebab berdasarkan pengalamannya, pengembangan kota-kota baru bisa menyingkirkan penduduk lokal hingga akhirnya mereka menjadi penonton,” kata Sonny.

Jika pelibatannya diabaikan, maka Sonny khawatir aspek tersebut berubah menjadi bom waktu munculnya konflik horizontal.

“Karena pengalaman kita, pengembangan kota kota baru biasanya tidak memperhatikan penduduk lokal, lalu mereka tersingkir dan menjadi penonton. Itu bisa menjadi bom waktu konflik horizontal di kemudian hari,” ungkap Sonny.

Oleh karenanya, Sonny menekankan kepada pemangku kebijakan IKN untuk menyetop deforestasi dan mengembalikan hutan sebagaimana fungsi vitalnya.

“Karena itu rekomendasi saya stop deforestasi hutan, kembalikan hutan ke fungsi vitalnya. Diantaranya klimatologis pengatur iklim, hidrologis untuk air, menyumbang udara bersih, sumber pangan, dan sumber energi,” katanya.

“Dan dalam kaitan itu, libatkan perempuan karena perempuan punya kepedulian terhadap kehidupan sebagaimana kodratinya,” jelasnya menandaskan. (ybh/nns)