PENELITIAN Oxfam International (2022) menyatakan bahwa 263 juta (seperempat milyar lebih) orang akan terdorong pada kemiskinan ekstrem pasca Pandemi Covid-19. Di Indonesia sendiri, masyarakat miskin jumlahnya sangat banyak, namun masyarakat yang hidup tidak layak jumlahnya jauh lebih banyak.
Per September 2021, Garis Kemiskinan di Indonesia sebesar Rp. 486.168 per bulan atau sekitar Rp. 15.000 per hari (BPS, 2022). Jadi, apabila pengeluaran masyarakat dalam sebulan lebih dari Rp. 486.168 atau anggaplah Rp. 500.000 sebulan, maka tidak termasuk golongan masyarakat miskin.
Padahal lumrah diketahui dan dapat dipahami dengan nalar sederhana, bahwa Rp. 500.000 sebulan sangat tidak layak untuk dapat hidup lapang apalagi hidup sejahtera.
Jika seandainya standar Garis Kemiskinan (GK) dinaikkan sedikit saja, maka angka kemiskinan di Indonesia akan membludak tinggi. Padahal, di tengah banyaknya masyarakat miskin, ada puncak tinggi kekayaan yang masyarakat miskin memiliki hak atasnya.
Dalam Al Qur’an surah Al-Isra’ [17]: 26 Allah SWT, berfirman:
وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghamburkan (hartamu) secara boros”
Buya Hamka (1989) dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa keluarga, fakir miskin, dan orang yang kekurangan ekonomi dalam perjalanan mempunyai hak untuk dibantu. Tujuan lainnya adalah untuk menimbun jurang yang memisahkan antara si kaya dan si miskin.
Tidak hanya berupa materi, menurut Imam Ath-Thabari (2007) dan Hasbi Ash-Shiddieqy (2000) hak yang dimaksud dalam ayat di atas juga melingkupi rasa kasih sayang dan bergaul dengan baik serta apabila memerlukan bantuan materi maka berilah.
Apabila hak masyarakat miskin ini ditunaikan dengan baik, maka ini adalah upaya konkret menyelesaikan tantangan bangsa, mengingat kemiskinan yang terkait dengan banyak masalah kebangsaan lainnya.
Kemiskinan mendorong manusia untuk melakukan ragam kejahatan, tanpa pandang bulu. Kasus pencurian, perampokan, penipuan, penjualan barang terlarang atau bahkan pembunuhan demi mendapatkan uang untuk bertahan hidup adalah contoh kemiskinan bisa menjerumuskan ke dalam perbuatan yang keji.
Kohesi antara kriminalitas dengan kemiskinan ini tidak hanya berpotensi membuat masyarakat menjadi pelaku kejahatan, tetapi berpeluang besar pula untuk juga menjadi korban kejahatan. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam juga telah merekam fenomena kemiskinan yang menyebabkan terjadinya kejahatan, tercermin dalam QS. Al-Isra’ [17]: 31.
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَٰقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”
Penyebab kemiskinan tidaklah tunggal. Penyebabnya banyak dan kompleks. Kemiskinan disebabkan oleh faktor struktural dan faktor kultural.
Faktor strukturalnya seperti eksploitasi alam sehingga menimbulkan bencana, kekikiran kelompok kaya, oligarki kekuasaan dan perang yang menghancurkan negeri. Sedangkan faktor kulturalnya adalah rendahnya kualitas manusia, sikap pemalas dan pesimis (Yuli, 2013: 105-107).
Selain itu, ada juga penyebab lain yang juga harus menjadi headline, pertama, lapangan kerja yang sempit dan tidak memadai. Kedua, ketimpangan ekonomi yang tinggi.
Ketimpangan yang tinggi menyebabkan rendahnya distribusi anggaran sehingga menyebabkan uang hanya berputar di kalangan elit. Bahkan, boleh dikatakan, ketimpangan adalah penyebab utama kemiskinan.
Masjid, Zakat, dan Inovasi Ekonomi Kreatif
Belakangan ini, ekonomi kreatif muncul menjadi sektor baru yang sangat diperhitungkan. Di Indonesia, sektor ini sudah mulai menggeliat dan berperan penting dalam mendongkrak ekonomi bangsa.
Sederhananya, ekonomi kreatif adalah upaya untuk membangun perekonomian negara secara berkelanjutan melalui berbagai sektor kreativitas yang memiliki iklim daya saing dan di dalamnya terdapat juga distribusi barang-barang.
Ekonomi kreatif bergerak di bidang kreasi seperti kesenian, fashion, periklanan, musik, penerbitan karya cetak dan karya kepemilikan intelektual.
Ekonomi kreatif seharusnya berkembang pesat di masjid. Terlebih, pemberdayaan melalui dana zakat saat ini sudah masif. Sehingga, secara sosiologi, ekosistem ekonomi kreatif di masjid bisa dikembangkan dengan basis pemberdayaan zakat.
Sosiologi artinya ialah ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi bertujuan untuk mendapatkan fakta masyarakat untuk digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat (Soekanto, 2019: 17-19).
Fakta yang ada saat ini mengenai masjid dan zakat, membuat perlunya dibangun ekosistem ekonomi kreatif sebagai sebuah lab-sosiologi yang bermanfaat bagi pengentasan kemiskinan dan kemakmuran rakyat.
Masjid ialah instrumen utama untuk menjadi pusat kemakmuran bagi rakyat dan ajaran zakat dalam Islam juga dihadirkan untuk menciptakan kesejahteraan dan memberantas ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Dalam sejarah Islam, telah terbukti bahwa masjid memiliki fungsi yang sangat komplit sebagai sentra peradaban.
Masjid bukan hanya sekadar tempat salat. Secara bahasa, masjid berasal dari Bahasa Arab, sajada – yasjudu – sujuud, yang berarti tempat sujud. Tempat sujud yang dimaksud bukan hanya tempat sujud ketika gerakan sujud dalam salat, tetapi juga bermakna tempat kegiatan bermanfaat yang mengantarkan kepada ketakwaan.
Sejarah juga membuktikan, di masa Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam masjid tidak hanya untuk salat, tetapi juga digunakan untuk kepentingan pendidikan, sosial, ekonomi, politik bahkan perdagangan dan bisnis (Muzayyanah, 2020 & Rifa’I, 2016).
Belakangan ini fungsi masjid direduksi hanya untuk ritual salat. Padahal, sejarah awal Islam membuktikan bahwa masjid efektif berperan sebagai instrumen transformasi masyarakat. Dalam QS. At-Taubah [9]: 18, Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Terkait ayat di atas, Buya Hamka (1989) menegaskan, percuma masjid dibangun besar-besar, tetapi tiada kemakmuran di dalamnya.
Memakmurkan artinya bukan hanya memoles atau membangun yang bersifat lahir, tetapi juga batinnya seperti menghidupkan aktivitas di dalam dan di lingkungannya dengan aneka kebermanfaatan (Az-Zuhaili, 2014).
Memakmurkan masjid artinya juga memakmurkan jamaah yang ada di dalam dan sekitarnya. Sehingga, tidak hanya jamaah yang memakmurkan masjid, tetapi juga masjid yang memakmurkan jamaah. Karena sejatinya masjid dihadirkan untuk membawa perubahan dan kemakmuran bagi masyarakat setempat.
Sumber daya masjid dan potensi zakat yang sangat besar di Indonesia merupakan modal utama untuk melakukan penguatan ekonomi kreatif, hal yang selama ini kurang diperhatikan.
Terbangunnya ekonomi kreatif berbasis zakat di masjid dengan sendirinya akan menjadi solusi kemiskinan yang merajalela di Indonesia.
Jumlah masjid yang sangat banyak dan persebarannya yang begitu luas akan menjadi potensi besar memajukan ekonomi bangsa. Lantas, bagaimana model konkret dari inovasi ekonomi kreatif berbasis masjid dan zakat?
*) RIZKI ULFAHADI, penulis adalah pendiri dan presiden Fatahillah Researchers Science and Humanity (FRESH) UIN Jakarta 2020, Associate peneliti Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect). Saat ini menempuh studi Pascasarjana di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI).