BUKAN Donald Trump namanya kalau tidak meledak ledak. Kali ini calon Presiden Amerika Serikat (AS) itu tampak meradang dengan mencetuskan pernyataan kontroversial saat hadir berpidato dalam sebuah acara kampanye di Ohio.
“Jika kita tidak memenangkan pemilu kali ini, saya rasa tidak akan ada pemilu lagi di negara ini,” kata Trump, seperti dilansir Reuters, Minggu (17/3/2024).
Dalam pidatonya yang penuh dengan retorika dramatis, Trump menyebutkan bahwa kekalahan dalam pemilihan presiden bulan November ini bisa mengakhiri demokrasi AS seutuhnya. Klaim tersebut tentu saja menimbulkan kontroversi di tengah panggung politik yang sudah panas.
Trump, yang masih menjadi tokoh dominan dalam politik AS meski terlibat dalam sejumlah kontroversi dan tuduhan, menyampaikan pernyataan kontroversial ini di hadapan pendukungnya.
Dia menggambarkan gambaran apokaliptik bahwa kekalahan dalam pemilihan presiden kali ini bisa menggiring AS ke arah tanpa pemilu di masa depan.
Retorika Distopia
Dalam pidatonya, Trump tidak hanya sekadar menggambarkan potret gelap masa depan tanpa kehadiran pemilu, tetapi juga merujuk pada insiden-insiden masa lalu, termasuk kerusuhan di Gedung Capitol AS pada Januari 2021.
Retorika yang digunakan Trump cenderung menimbulkan ketegangan dan ketakutan, dengan menyebutkan bahwa kekalahan dalam pemilu akan mengakibatkan “pertumpahan darah bagi seluruh negeri.”
Salah satu aspek menarik dalam pidato Trump adalah klaim bahwa kekalahan dalam pemilihan presiden tahun 2020 adalah hasil dari kecurangan pemilu. Meskipun klaim tersebut tidak didukung oleh bukti yang kuat, Trump terus mengulangi narasi ini, menambahkan aspek dramatis dalam kampanyenya.
Selain menyampaikan pernyataan kontroversial, Trump juga secara aktif mengajak dukungan dari berbagai kelompok, termasuk warga kulit hitam dan Hispanik. Strategi ini bertujuan untuk memperluas basis pemilihnya dan mempersempit kesenjangan dengan lawan politiknya, Joe Biden.
Pernyataan Trump tentu saja menuai berbagai reaksi dari berbagai pihak. Tim kampanye Biden mengutuk keras retorika Trump, dan menyebutnya sebagai “ekstremisme” dan “ancaman kekerasan politik.” Namun, Trump tetap tak gentar, terus menguatkan posisinya di panggung politik AS.
Dengan demikian, pernyataan Trump ini tidak hanya menciptakan gelombang kontroversi, tetapi juga menjadi poin fokus dalam peta politik AS menjelang pemilihan presiden yang semakin memanas.
Meskipun begitu, satu hal yang pasti adalah bahwa politik AS tetap menjadi sorotan dunia, terutama dengan adanya tokoh-tokoh seperti Donald Trump yang terus mengguncang panggung politik. (nas/ybh)