BELAKANGAN ini, kita semakin sering menemukan fakta yang menunjukkan bahwa rakyat adalah pihak paling “kaya” di Indonesia. Ungkapan ini tidak bermaksud untuk menunjukkan kekayaan materi, melainkan untuk menyadarkan kita semua betapa negara ini tidak akan pernah ada tanpa kehadiran rakyat. Rakyat adalah tulang punggung negara, namun sayangnya, sering kali mereka justru menjadi objek pembangunan.
Dalam berbagai program pembangunan, rakyat sering kali menjadi pihak yang “dikeruk” sumber dayanya. Penerapan berbagai macam aturan, mulai dari pajak hingga “tabungan”, terus membebani mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa negara seolah-olah kekurangan kas, padahal rakyat sudah berkontribusi begitu banyak?
Hingga 15 Maret 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa realisasi pajak mencapai Rp. 342,88 triliun, atau sekitar 17,24% dari APBN 2024. Angka ini jelas kecil jika dibandingkan dengan target penerimaan pajak tahun 2024 yang mencapai Rp. 1.988,9 triliun. Kenyataan ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara yang diharapkan dan yang diterima.
Posisi Pajak
Pajak pada dasarnya adalah instrumen penting dalam pembangunan negara. Melalui pajak, pemerintah bisa membiayai berbagai program dan proyek yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, masalahnya bukan pada konsep pajak itu sendiri, melainkan pada bagaimana pajak itu dikelola dan dialokasikan. Rakyat merasa diperas karena mereka harus terus-menerus membayar pajak tanpa melihat hasil yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Baru-baru ini, muncul istilah baru: Tabungan Perumahan Rakyat. Kebijakan ini menambah beban rakyat yang sudah berat. Tabungan ini dimaksudkan untuk membantu menyediakan perumahan bagi rakyat, namun pada kenyataannya, banyak yang merasa keberatan karena merasa bahwa kontribusi mereka melalui pajak seharusnya sudah cukup untuk mendanai program-program semacam itu.
Di sisi lain, ada juga yang mempertanyakan efisiensi dan transparansi dalam penggunaan dana pajak.
Rakyat ingin tahu ke mana uang mereka sebenarnya pergi dan bagaimana uang itu digunakan. Tanpa adanya transparansi, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan semakin menurun. Mereka akan terus merasa bahwa mereka hanya menjadi objek yang terus-menerus diperas tanpa mendapatkan manfaat yang seharusnya.
Sebagai rakyat, kita tidak memandang pajak sebagai sesuatu yang buruk. Kita memahami bahwa pajak adalah bagian dari kewajiban kita sebagai warga negara untuk mendukung pembangunan.
Namun, kita perlu melihat secara mendalam mengapa dengan pajak yang ada, rakyat masih harus terus-menerus dibebani dengan aturan dan kebijakan baru yang menguras kantong mereka.
Saatnya Evaluasi
Mungkin sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem perpajakan dan pengelolaan dana negara. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama.
Rakyat perlu diyakinkan bahwa setiap rupiah yang mereka bayarkan melalui pajak digunakan dengan bijak dan tepat sasaran.
Rakyat adalah pilar utama negara ini. Tanpa mereka, negara tidak akan bisa berjalan.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas dalam setiap kebijakan yang diambil. Hanya dengan begitu, rakyat akan merasa dihargai dan benar-benar merasa menjadi bagian penting dari negara yang mereka cintai.
Satu hal penting lainnya, mengapa para pengelola negara tidak memandang gaji para pejabat yang begitu besar sebagai sebuah “peluang” untuk membantu keuangan negara. Bukankah sebagai pejabat mereka patut menjadi teladan dalam patriotisme, bela negara dan segala hal yang memungkinkan rakyat tidak terbebani?.[]
*) MAS IMAM NAWAWI, penulis adalah Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)