Demokrasi Tanpa Oposisi, Kotak Kosong dan Pudaranya Esensi Kebebasan Memilih

DEMOKRASI, dalam esensinya, merupakan sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pusat pengambilan keputusan melalui pemilihan umum yang bebas dan adil. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, konsep ini kerap terjebak dalam kontradiksi yang justru merendahkan nilai-nilai dasar demokrasi.

Salah satu fenomena yang mencolok adalah munculnya “kotak kosong” dalam pemilihan umum, sebuah situasi yang tidak hanya menandai kemunduran demokrasi, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam menciptakan kompetisi politik yang sehat.

Bacaan Lainnya
rasfiuddin sabaruddin

Fenomena kotak kosong terjadi ketika dalam suatu pemilihan umum hanya terdapat satu pasangan calon yang maju, sementara pilihan lainnya adalah kotak kosong sebagai simbol penolakan terhadap calon tunggal tersebut. Jika kotak kosong ini memperoleh suara mayoritas, pemilihan harus diulang. Namun, lebih dari sekadar teknis pemilihan, fenomena ini menunjukkan adanya masalah mendalam dalam sistem politik yang seharusnya mendorong keberagaman ide dan gagasan.

Saya melihat, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya kotak kosong dalam pemilihan umum. Pertama, ketiadaan oposisi yang kuat. Dalam banyak kasus, kotak kosong muncul akibat ketiadaan oposisi yang mampu menandingi calon tunggal. Di daerah-daerah dengan dominasi politik tertentu, partai-partai oposisi sering kali merasa tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk bersaing, sehingga memilih untuk tidak mencalonkan kandidat sama sekali.

Kedua, adanya kooptasi politik, dimana partai-partai politik terkadang lebih memilih untuk menghindari konflik internal atau kerugian finansial daripada mencalonkan kandidat yang potensial. Akibatnya, rakyat kehilangan alternatif yang layak dan dipaksa menerima satu-satunya calon yang tersedia.

Faktor Ketiga, tajamnya manipulasi sistem. Tidak jarang, proses pencalonan sengaja dimanipulasi agar hanya ada satu calon yang dapat maju. Praktik ini secara langsung menghancurkan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan menghilangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan kehendak mereka.

Implikasi Serius Terhadap Demokrasi

Tak dinyana, pada akhirnya keberadaan kotak kosong dalam pemilihan umum tidak hanya menandakan hilangnya kompetisi politik adiluhung yang mempertengkarkan substansi, menawarkan karya, dan pikiran pikiran besar untuk Indonesia, tetapi juga memberikan implikasi serius yang berdampak luas terhadap kualitas demokrasi itu sendiri.

Disamping itu, fenomena semacam ini menjadi anomali demokrasi yang jelas jelas merupakan pelecehan terhadap hak pilih. Ketika rakyat hanya diberikan satu pilihan, pada dasarnya hak mereka untuk memilih telah dirampas. Situasi ini merupakan bentuk penghinaan terhadap demokrasi, di mana kebebasan memilih seharusnya menjadi hak yang tak terganggu.

Keadaan ini semakin runyam dan meresahkan ketika akhirnya pemimpin yang terpilih dari pertarungan melawan kotak kosong lahir dari upaya upaya kompromi politik transaksional yang menyebabkan ia kewalahan dalam membangun legitimasi di mata rakyat. Ketika kotak kosong menjadi lawan utama, mandat yang diperoleh oleh pemimpin tersebut terasa kurang kuat dan penuh keraguan.

Rakyat tentu melihat mekanisme pemilihan calon tunggal melawan kotak kosong tidaklah berdiri sendiri tanpa adanya intrik dan persekongkolan yang dilakukan di jalur jalur gelap demokrasi. Namun, di sisi lain, ini seperti pengkerdilan partisipasi politik masyarakat dimana fenomena kotak kosong ini sejatinya menjadi refleksi lemahnya partisipasi politik dan keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi karena apatisme yang semakin dalam atau bahkan ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang ada.

Mewujudkan Kehendak Rakyat

Sejatinya, dalam demokrasi substantif, warga bukan obyek, melainkan subyek. Demikian seperti ditegaskan Bivitri Susanti dalam opininya di Harian Kompas, beberapa hari lalu, yang menelaah fenomena kotak kosong sebagai anomali demokrasi yang tak bisa dianggap biasa biasa saja.

Karena itu, perlu upaya yang serius untuk mengembalikan martabat demokrasi yang kita sepakati sebagai instrumen dalam mewujudkan kehendak rakyat untuk hidup berkualitas. Untuk menghindari kemunduran lebih lanjut dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi, maka menurut hemat saya setidaknya diperlukan tiga langkah strategis yang perlu dilakukan.

Yang pertama, memperkuat regulasi pemilu. Diperlukan reformasi yang mendalam dalam sistem pemilu untuk mendorong partisipasi yang lebih luas dari partai dan calon-calon potensial. Regulasi harus memastikan bahwa kompetisi politik yang sehat dapat berlangsung, dengan memberikan ruang bagi berbagai alternatif pilihan.

Kedua, meningkatkan pendidikan politik. Pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan politik yang lebih baik ini menjadi sangat penting. Dengan pengetahuan politik yang memadai, masyarakat dapat lebih aktif dan kritis dalam berpartisipasi dalam pemilihan umum.

Terakhir, mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapannya. Proses seleksi kandidat harus dilakukan dengan transparan, dan partai politik harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa rakyat memiliki pilihan yang nyata dan berkualitas. Dengan demikian, demokrasi dapat berjalan sesuai dengan esensinya.

Fenomena kotak kosong dalam pemilihan umum di Indonesia adalah penanda dari krisis demokrasi yang tengah melanda. Ketika rakyat hanya dihadapkan pada satu pilihan yang tidak memberikan kebebasan sejati, maka makna demokrasi telah hilang.

Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, partai politik, maupun masyarakat, untuk bersama-sama mengembalikan integritas dan kepercayaan terhadap proses demokrasi yang sejati. Hanya dengan demikian, demokrasi dapat benar-benar menjadi alat yang efektif untuk mewujudkan kehendak rakyat.

*) Rasfiuddin Sabaruddin, penulis adalah Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah

Pos terkait