ADA sebuah ironi yang menyesakkan dada. Profesi yang seharusnya menjadi simbol kecerdasan, kesantunan, dan adab, kini tercoreng oleh perilaku yang jauh dari nilai-nilai luhur tersebut.
Dunia kedokteran, yang kita harapkan menjadi tempat lahirnya para penyembuh dan penolong, justru menjadi arena bagi praktik ‘bullying’ yang keji.
“Enggak anak-anak, enggak orang tua, sama. Banyak yang suka membully,” keluh seorang warga, merespons berita tentang kasus ‘bullying’ di kalangan dokter.
Kekecewaan itu begitu nyata, mencerminkan keprihatinan mendalam akan merosotnya nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat, bahkan di lingkungan yang seharusnya menjadi teladan.
Tragisnya, fenomena ini terjadi di dunia pendidikan, tempat yang seharusnya menjadi kawah candradimuka bagi pembentukan karakter dan moral.
Seorang suami bahkan mengungkapkan penderitaan istrinya, seorang dokter yang mengalami depresi berat akibat ‘bullying’ dari senior-seniornya.
Pertanyaannya, sejak kapan senioritas menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan yang tidak perlu?
Sejak kapan gelar dan jabatan menjadi lisensi untuk merendahkan dan menindas orang lain?
Praktik ‘bullying’ di dunia kedokteran bukanlah sekadar masalah individual, melainkan cerminan dari krisis moral yang lebih luas.
Ini adalah alarm peringatan bagi kita semua, bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan dan nilai-nilai yang kita anut.
Kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah kita telah kehilangan arah? Apakah kita telah terjebak dalam budaya kompetisi yang tidak sehat, yang mengorbankan empati dan kemanusiaan?
Sudah saatnya kita berhenti menutup mata dan telinga terhadap fenomena ini. Sudah saatnya kita bersuara dan bertindak, untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan beradab, baik di dunia pendidikan maupun di masyarakat secara luas.
Karena pada akhirnya, manusia tidak hanya diukur dari kecerdasan dan pencapaiannya, tetapi juga dari kebaikan hatinya.
Mari kita bersama-sama membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan yang mulai terkikis, agar kita bisa hidup dalam masyarakat yang lebih harmonis dan bermartabat.*
*) Mas Imam Nawawi, penulis adalah Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)