Munculnya kabar mengenai rencana Badan Legislatif (Baleg) DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) menua banyak kecaman. Kabar ini langsung menuai kontroversi, terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan dua putusan penting terkait dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Rencana DPR ini dipandang oleh banyak pihak sebagai upaya untuk menganulir putusan MK, sebuah tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran konstitusi.
Pengamat Hukum Tata Negara, Prof. Denny Indrayana, secara tegas menyatakan bahwa rencana DPR RI ini adalah bentuk pembangkangan dan pengkhianatan terhadap konstitusi. Menurutnya, putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), dan tidak dapat dianulir oleh DPR maupun Presiden. Dalam konstitusi Indonesia, putusan MK memiliki kedudukan hukum yang sangat tinggi dan harus dihormati oleh seluruh lembaga negara, termasuk DPR.
Denny Indrayana menambahkan, “Hari ini DPR ingin menganulir putusan MK yang kemarin gitu. Jadi kalau ditanya apa pendapatnya, upaya DPR menganulir putusan MK itu pembangkangan dan pengkhianatan konstitusi,” tegasnya. Pernyataan ini menunjukkan keprihatinan yang mendalam terhadap perkembangan politik dan hukum di Indonesia yang mulai menyimpang dari konstitusi.
Mahkamah Konstitusi baru saja mengeluarkan dua putusan penting terkait UU Pilkada pada Selasa, 20 Agustus 2024. Putusan pertama, yakni Putusan 60, mengubah ambang batas partai politik untuk mengusung calon kepala daerah. Sebelumnya, ambang batas ini didasarkan pada perolehan kursi di DPRD, namun dengan putusan ini, ambang batas tersebut kini berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah tersebut. Hal ini memberikan peluang bagi partai politik seperti PDIP untuk mengusung calon di daerah-daerah strategis seperti Jakarta, asalkan memiliki suara minimal 7,5 persen dari DPT.
Putusan kedua, yakni Putusan 70, mengatur batas minimal usia calon kepala daerah. Dalam putusan ini, calon kepala daerah minimal harus berusia 30 tahun saat ditetapkan sebagai calon. Keputusan ini berpotensi berdampak pada pencalonan putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang dikabarkan berminat untuk mengikuti Pilkada.
Pelanggaran Konstitusi yang Berulang
Pernyataan Prof. Denny Indrayana juga menyoroti fenomena pelanggaran konstitusi yang semakin sering terjadi belakangan ini. Ia menyatakan bahwa tindakan DPR yang berencana untuk menganulir putusan MK menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap konstitusi sudah dianggap hal yang biasa dan seakan tidak menimbulkan masalah yang berarti.
“Ya ini kan kalau DPR sampai mengambil ini sudah keluar konstitusi ya. Jadi kita harus melakukan kritik keras, itu tidak boleh itu langgar konstitusi,” ungkapnya. Menurutnya, DPR dan pihak terkait harus segera menghentikan tindakan-tindakan yang dapat merusak marwah konstitusi dan memperlemah demokrasi di Indonesia.
Prof. Denny Indrayana bahkan menyebutkan kemungkinan terjadinya pembangkangan sipil jika DPR tetap melanjutkan rencana ini. Ia menyarankan masyarakat untuk turun ke jalan dan menyuarakan penolakan terhadap revisi UU Pilkada yang dinilai melanggar konstitusi.
“Di konstitusi tidak lagi punya marwah untuk dihormati. Ini yang harus dilawan. Kalau misalkan ini sampai dianulir lagi ya kita mempertimbangkan melakukan civil disobedience dari segi masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, ia juga membuka opsi untuk mengajukan uji materi kembali ke MK jika DPR tetap memaksakan rencana revisi tersebut. Meski langkah ini mungkin akan menghasilkan proses hukum yang berlarut-larut, namun hal ini dinilai sebagai upaya terakhir untuk melindungi konstitusi dari tindakan yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi. (teg/nas)