Melek Demokrasi dan Era Baru Politik Jakarta

0
81

PILGUB Jakarta 2024 tampaknya akan menjadi panggung yang lebih dari sekadar persaingan politik. Di balik manuver kandidat dan angka survei, terselip fenomena menarik yang mungkin menandai perubahan mendasar dalam cara rakyat dan oligarki melihat demokrasi. Hal ini muncul dari penjelasan Kepala Peneliti Political Strategy Group (PSG), Ahsan Ridhoi, yang mengungkapkan bahwa mayoritas pendukung Anies Baswedan tidak akan mendukung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono.

demokrasi indonesia kita

Lazimnya, survei politik menjadi barometer seberapa besar peluang kandidat dalam sebuah kontestasi. Namun, dalam konteks Pilgub Jakarta kali ini, kita mungkin sedang menyaksikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar angka dan statistik. Ahsan menyebutkan bahwa Ridwan Kamil hanya mendapatkan dukungan terbatas. Dari pernyataan tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar: apakah ini sekadar hasil dari preferensi politik atau cerminan bahwa Jakarta sedang mengalami pergeseran besar dalam cara pandang masyarakatnya terhadap politik?

Demokrasi Lebih dari Prosedur

Survei ini mengindikasikan bahwa pendukung Anies, yang dikenal sangat loyal, enggan mengalihkan dukungan kepada pasangan Ridwan Kamil dan Suswono, meskipun mekanisme prosedural demokrasi menawarkan pilihan itu. Ini bisa dilihat sebagai sinyal bahwa demokrasi di Jakarta telah berkembang menjadi lebih dari sekadar kotak suara dan kampanye. Pendukung Anies mungkin melihat pemimpin mereka sebagai sosok yang lebih dari sekadar kandidat politik, melainkan simbol dari aspirasi mereka yang lebih mendalam terhadap perubahan.

Rakyat Jakarta seolah tidak ingin demokrasi hanya diperlakukan sebagai alat oleh kekuatan oligarki, di mana calon-calon terpilih lebih didikte oleh elit daripada oleh keinginan masyarakat luas. Aspirasi yang lebih personal dan idealis muncul, di mana seorang pemimpin diharapkan lebih dari sekadar memenuhi prosedur politik, tetapi juga menjawab kebutuhan emosional, sosial, dan ideologis warganya.

Oligarki yang Kian Sadar?

Namun, di sisi lain, oligarki dan elit politik juga tampaknya tidak lagi bisa mengabaikan perkembangan ini. Selama ini, politik sering dianggap sebagai permainan elit, di mana keputusan dan koalisi lebih banyak terjadi di balik layar. Akan tetapi, survei ini justru mengindikasikan bahwa elit politik, termasuk Ridwan Kamil dan tim pendukungnya, mungkin belum sepenuhnya memahami gelombang aspirasi baru dari masyarakat Jakarta.

Oligarki, yang biasanya mengandalkan popularitas dan koalisi pragmatis, kini menghadapi tantangan untuk memahami bahwa suara rakyat tidak bisa lagi sekadar dimobilisasi melalui taktik tradisional. Aspirasi, visi, dan keinginan yang lebih dalam dari rakyat kini menjadi faktor yang semakin sulit diabaikan. Bahkan, bisa jadi oligarki juga mulai menyadari bahwa mereka harus lebih menyesuaikan diri dengan narasi dan kebutuhan masyarakat yang lebih kritis dan sadar politik.

Bukan Lagi Tentang Individu

Pilgub Jakarta 2024, dengan berbagai kandidatnya, menunjukkan bahwa demokrasi bukan lagi sekadar soal memilih individu yang populer atau memiliki jaringan kuat. Kini, rakyat Jakarta, khususnya pendukung Anies, menunjukkan bahwa mereka lebih memperhatikan ide dan visi yang ditawarkan.

Ridwan Kamil, meskipun memiliki rekam jejak yang baik sebagai gubernur Jawa Barat, mungkin belum berhasil menyesuaikan dirinya dengan dinamika politik dan ekspektasi masyarakat Jakarta yang berbeda.

Masyarakat Jakarta tampaknya ingin lebih dari sekadar figur publik yang terkenal. Mereka menginginkan pemimpin yang benar-benar memahami tantangan lokal dan merespon aspirasi mereka dengan lebih tulus. Pilgub Jakarta menjadi semacam ujian bagi para kandidat, bukan hanya untuk menunjukkan kemampuan kepemimpinan mereka, tetapi juga untuk membuktikan apakah mereka mampu menyatu dengan aspirasi yang semakin kuat dari rakyat yang sudah lebih sadar politik.

Simbiosis Politik

Menariknya, kita mungkin sedang berada di titik pertemuan antara dua kekuatan besar: oligarki dan rakyat yang sama-sama melek politik. Di satu sisi, oligarki mulai memahami bahwa demokrasi tidak lagi bisa dikendalikan sepenuhnya melalui kekuatan modal dan pengaruh elit. Di sisi lain, rakyat semakin menyadari bahwa kekuatan mereka dalam demokrasi bukanlah hal sepele.

Dengan demikian, pertanyaan besar yang tersisa adalah apakah kita sedang memasuki era baru di mana oligarki dan rakyat bisa menemukan keseimbangan dalam demokrasi?

Di Jakarta, Pilgub 2024 mungkin menjadi panggung pertama dari pertarungan yang lebih besar ini. Jika oligarki dan rakyat sama-sama memahami apa itu politik yang sesungguhnya, kita mungkin akan melihat wajah demokrasi yang lebih sehat dan matang di masa depan.

Jakarta memang tidak lagi menjadi pusat pemerintahan, tetapi Jakarta tampaknya tetap menjadi pusat transformasi politik, di mana rakyat dan elit sama-sama mencari cara untuk menavigasi dinamika baru ini. Rakyat yang semakin kuat atau oligarki sudah menemui garis tamat?.

*) Imam Nawawi, kolumnis Nasional.news dan Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)