GIB Audiensi ke DPR RI Bahas Polemik PP 28/2024

JAKARTA – Suasana tampak serius ketika 16 orang tokoh dari berbagai latar belakang yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Beradab (GIB) menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diterima Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati di Gedung DPR RI, Senin (9/9/2024).

Topik yang dibahas cukup berat yaitu mengenai keresahan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Dengan PP ini, GIB menyoroti sejumlah pasal yang dianggap bermasalah.

gib dpr ri

PP 28/2024 telah menjadi topik perbincangan yang hangat yang dikeluarkan dengan tujuan untuk menyederhanakan dan memperbarui regulasi di berbagai sektor, PP ini menyajikan 1.172 pasal yang menyentuh berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi.

Ketua Umum Presedium Gerakan Indonesia Beradab (GIB) Dr. Bagus Riyono dihadapan perwakilan Komisi IX DPR RI menyampaikan, pihaknya sangat menolak wacana pemerintah yang akan memberikan kondom kepada anak sekolah dan remaja.

“Selain itu, kami juga mempertanyakan PP No. 28 Tahun 2024 arahnya kemana? Apakah pemerintah memilik agenda berprilaku seks bebas. Atau ini sesuatu keteledoran yang perlu kita koreksi bersama,” tanya Bagus lebih lanjut.

Ia menambahkan, setelah dikaji, GIB menilai, pemberian alat kontrasepsi arahnya memberikan ruang kebebasan seksual kepada remaja Indonesia.

“Secara hukum, kami temukan beberapa pasal yang tidak tepat. Dan ada beberapa pasal yang memberikan peluang perilau seks bebas. Hal ini terkait pemberian alat kontrasepsi yang kemudian bisa meningkat kepada aborsi dikalangan remaja,” ungkap dia.

Pihaknya memohon kepada pemerintah agar menyadari dampak dari pemberian alat kontrasepsi kepada anak sekolah dan remaja. Menurutnya, alat kontrasepsi bukan untuk mencegah kesehatan. Tetapi untuk mencegah kehamilan.

“Justru pembagian alat kontrasepsi kepada remaja memiliki dampak remaja tersebut akan lebih cenderung mencoba alat tersebut,” tegas Dr. Bagus.

Bagus menambahkan, GIB membawahi lebih 190-an organisasi, peneliti, dan psikolog yang tergabung dalam GIB, menganggap perlu menggawangi serta mengawal hukum yang berpotensi menghancurkan akhlak bangsa khususnya generasi muda.

Dalam RDPU ini, hadir 16 person yang representatif perwakilan elemen GIB dari kalangan akademisi hukum, profesional, kesehatan, praktisi, dan BMIWI yang merupakan representatif ormas Muslimah.

Sementara, dr. Dewi Inong Irana, SpKK, menjelaskan, dari data yang dimiliki sekarang HIV AIDS Indonesia di Asean menduduki peringkat paling tinggi. Inong yang telah berpraktek 30 tahun lebih mengurus penyakit kulit dan kelamin ini menegaskan, penjualan kondom dengan bebas minta bisa dihentikan.

“Saya meminta penjualan kondom di swalayan di-stop. Karena pemakainya merasa dengan menggunakan kondom mereka sudah merasa aman dari penytakit menular. Padahal itu hal itu tidak benar sama sekali,” tambah dokter Inong.

Menurutnya, kondom masih memiliki pori-pori yang bisa menularkan penyakit. Kondom itu hanya menjaring supaya sperma tidak keluar (agar tidak hamil).

“Dijual di minimarket saja kami tidak setuju. Apalagi ini, kok dibagikan gratis kepada remaja dan anak anak sekolah,” imbuhnya.

Daftar Inventaris Masalah

Selain itu, di balik kompleksitas regulasi ini, terdapat catatan kritis yang harus diperhatikan. Assoc. Prof Neng Djubaedah, S.H., M.H., Ph.D, pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI), pada kesemapatan tersebut menyampaikan telah melakukan analisis mendalam terhadap PP tersebut dan menemukan sejumlah masalah yang signifikan.

Dari total 1.172 pasal dalam PP ini, Neng Djubaedah telah memeriksa sekitar 500 pasal dan menyusun daftar inventaris masalah (DIM) yang memuat sejumlah temuan penting. Salah satu isu utama yang ia angkat adalah absennya konsultasi dengan tokoh agama dalam proses perumusan regulasi ini. Menurut Neng Djubaedah, pelibatan pihak seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat penting, mengingat dampak sosial yang besar dari regulasi tersebut.

Menurutnya, peraturan yang diatur tanpa melibatkan tokoh agama dapat mengabaikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianggap penting oleh berbagai kelompok masyarakat. Ini bukan hanya soal norma religius, tetapi juga bagaimana peraturan tersebut diterima dan diterapkan dalam praktik sehari-hari.

Dia menjelaskan, mempertimbangkan pandangan tokoh agama, terutama dalam masyarakat yang sangat religius seperti Indonesia, penting untuk memastikan bahwa regulasi yang diterapkan tidak bertentangan dengan ajaran agama atau norma-norma sosial yang berlaku.

“Tanpa adanya pelibatan tersebut, ada risiko bahwa regulasi yang dikeluarkan dapat menimbulkan resistensi atau ketidakpuasan di kalangan masyarakat,” kata Neng Djubaedah.

Karenanya, Neng Djubaedah berharap pemerintah membuka ruang dialog yang lebih luas dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk tokoh agama dan masyarakat umum. Hal ini akan memastikan bahwa regulasi yang dikeluarkan tidak hanya berlandaskan pada kepentingan administratif atau teknis, tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek sosial, moral, dan kultural.

Selain itu, dia memandang perlu adanya mekanisme yang jelas untuk menilai dampak sosial dari setiap pasal dalam regulasi. Ini termasuk melakukan konsultasi dan studi dampak yang melibatkan berbagai pihak untuk mengidentifikasi potensi masalah sejak dini.

Mewaspadai Muatan CSE

Sementara itu, dalam pertemuan ini Prof. Euis Sunarti, Guru Besar Ketahanan Keluarga IPB, juga turut menelaah PP 28/2024 ini.

Dalam paparannya, Euis menyoroti bahwa PP 28/2024 ini merupakan hasil dari proses panjang sosialisasi Comprehensive Sexuality Education (CSE) atau Pendidikan Seksualitas Komprehensif.

Menurut Euis, sejak tahun 2005, konsep ini telah diperkenalkan secara sistematis di berbagai lini pendidikan di Indonesia, dan kini hasilnya dituangkan dalam bentuk regulasi pemerintah.

“Ada sosialisasi yang sistematis sejak 2005, dan buahnya sekarang dengan lahirnya PP 28/2024 ini,” ungkapnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Euis, adalah keterlibatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam distribusi modul pendidikan yang mengandung muatan CSE.

Modul tersebut bahkan, menurutnya, telah diajarkan kepada remaja di seluruh Indonesia. Ini dianggap sebagai upaya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat.

Pernyataan Euis menyiratkan bahwa BKKBN kecolongan dalam proses ini. Bagi GIB, modul-modul yang diterbitkan dan disebarkan oleh BKKBN mencerminkan upaya liberalisasi seks di kalangan remaja Indonesia. “Isinya sangat liberal,” tegas Euis.

Dalam hal ini, PP 28/2024 dianggap sebagai manifestasi dari pendekatan yang lebih terbuka terhadap pendidikan seksualitas, yang menurut mereka tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat.

Namun, apakah memang demikian adanya? Pembahasan ini tentu membutuhkan kajian lebih lanjut dan keterlibatan lebih banyak pihak, terutama tokoh-tokoh masyarakat, agama, serta akademisi. Dalam konteks ini, GIB tidak hanya mengajukan kritik, tetapi juga mengusulkan revisi terhadap sejumlah pasal dalam PP tersebut.

Rapat ini tidak hanya berhenti pada diskusi dan pertukaran pandangan. Sejumlah kesimpulan penting berhasil dirumuskan sebagai langkah ke depan.

Diantaranya, GIB menyoroti perbedaan antara proses pembahasan UU yang melibatkan DPR, sedangkan pembahasan PP cenderung dilakukan sepihak oleh pemerintah tanpa konsultasi lebih luas. GIB akan mengirim surat keberatan terkait pasal-pasal tertentu dalam PP 28/2024 kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA).

Komisi IX DPR RI akan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bersama Kementerian Kesehatan untuk membahas PP 28/2024. Daftar inventaris masalah yang disampaikan oleh GIB akan menjadi salah satu bahan utama dalam diskusi ini.

Disamping itu, GIB, bersama organisasi masyarakat lainnya, berencana melanjutkan langkah judicial review (JR) ke Mahkamah Agung untuk menantang beberapa pasal dalam PP tersebut. Mereka juga mengajak ormas-ormas lain yang sevisi untuk bergabung dalam upaya ini.

Rencana langkah judicial review yang diajukan oleh GIB merupakan upaya hukum yang sering kali diambil dalam situasi di mana regulasi dianggap melanggar prinsip-prinsip konstitusi atau bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung masyarakat. Dalam konteks PP 28/2024, GIB merasa bahwa sejumlah pasal dapat merusak moralitas masyarakat, terutama terkait dengan isu seksualitas.

Bagi mereka, judicial review adalah alat untuk memastikan bahwa suara masyarakat tetap didengar dalam proses pembentukan hukum. Dengan menggandeng ormas-ormas lain, GIB berharap dapat membangun koalisi yang kuat untuk melawan peraturan yang dianggap berbahaya ini.

GIB juga menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mendukung upaya mereka. Keterlibatan aktif masyarakat, terutama ormas-ormas, adalah kunci untuk memberikan tekanan politik dan sosial terhadap pemerintah. Surat keberatan yang akan dikirim kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian PPA menjadi langkah awal dalam proses ini.

Mereka berharap, dengan adanya suara kolektif dari berbagai elemen masyarakat, pemerintah akan lebih terbuka untuk mempertimbangkan kembali PP 28/2024 dan mungkin melakukan revisi terhadap pasal-pasal yang kontroversial.

Selain Prof. Euis Sunarti, sejumlah tokoh penting hadir dalam RDPU ini. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dan organisasi, yang semuanya tergabung dalam Gerakan Indonesia Beradab.

Kehadiran berbagai pihak dengan latar belakang ini mencerminkan luasnya spektrum kekhawatiran terhadap PP 28/2024, mulai dari aspek hukum, agama, kesehatan, hingga pendidikan.

Mereka semua sepakat bahwa ada kejanggalan dalam proses perumusan PP ini dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, terutama generasi muda.

Berikut data-data ormas yang hadir RDPU dengan Komisi IX DPR RI.

  1. Sahabat Perdaban Bangsa
  2. Gerakan Indonesia Beradab
  3. KNPK Indonesia
  4. Wanita Al Irsyad
  5. Muslimat Dewan Dakwah
  6. Wanita PUI
  7. Wanita Islam
  8. Aila Indonesia
  9. Persistri
  10. Forhati
  11. ALPPIND
  12. Hidayatullah
  13. Mushida
  14. Salimah
  15. BMIWI
  16. PERAK

(ybh/nas)

Pos terkait