Kecerdasan Tersia-siakan, Ketika “Smart” Tak Lagi Cukup di Negeri Ini

0
76

DALE Carnegie pernah berkata, “Knowledge isn’t power until it’s applied.” Mirisnya, di Indonesia, negeri yang konon kaya akan orang cerdas, kata-kata Carnegie seakan menjadi tamparan keras. Kecerdasan (smart) yang seharusnya menjadi modal pembangunan justru tersia-siakan, tak berdaya mengubah realita.

Mengapa? Karena kecerdasan itu tak lagi fungsional. Ia tak diterapkan untuk menciptakan kemajuan, melainkan terjebak dalam pragmatisme yang menyesatkan.

Bahkan, tujuan, niat, dan cita-cita agung seakan luntur di tengah gempuran hasrat untuk cepat kaya, hidup hedon dan tunduk pada godaan Syaiton.

smart

Tuhan Ditinggalkan

Ironisnya, di tengah kemajuan ilmu dan teknologi, semakin banyak orang cerdas yang mulai ragu akan kekuasaan Tuhan.

Mereka lebih percaya pada usaha mengumpulkan harta dengan cara yang salah. Jalan pintas menuju kekayaan, meski berliku dan penuh resiko, tampak lebih menggiurkan. Tak peduli kena KPK, toh tetap bisa tersenyum di hadapan kamera.

“Coba kalau kerja jujur, kapan kayanya? Kalau korupsi, semalam bisa kaya raya.”

Dari ungkapan sinis ini seakan menjadi refleksi realita yang menyakitkan. Korupsi, meski diketahui buruk, tetap menjadi pilihan bagi mereka yang tergoda oleh iming-iming kekayaan instan.

Virus

Pragmatisme pun mewabah bak virus, menginfeksi berbagai lini kehidupan. Sedikit demi sedikit, ia mengikis nilai-nilai integritas dan kejujuran.

Orang tak lagi mau belajar dan bekerja keras dengan pikiran besar. Mereka lebih memilih jalan pintas yang menjanjikan hasil instan, meski harus mengorbankan etika dan moral.

Padahal, Indonesia punya BJ Habibie. Seorang jenius yang mengabdikan kecerdasannya untuk kemajuan bangsa. Ia tak tergoda oleh pragmatisme, melainkan teguh pada prinsip dan integritas. Buktinya?

Ketika menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, Habibie menolak tawaran menguntungkan dari perusahaan asing untuk mengembangkan proyek pesawat tempur.

Ia memilih untuk membangun industri pesawat terbang dalam negeri, meski harus merangkak dari nol. Habibie adalah bukti bahwa kecerdasan yang fungsional mampu menghasilkan karya nyata yang bermanfaat bagi banyak orang.

Akibatnya? Kita kehilangan generasi penerus yang ideal. Generasi yang seharusnya menjadi motor penggerak perubahan justru terjebak dalam lingkaran setan pragmatisme. Kecerdasan mereka tak mampu menghasilkan inovasi dan kemajuan yang bermanfaat bagi bangsa.

Jalan Keluar

Lalu, apa solusinya? Tentu tak ada jawaban tunggal untuk persoalan yang kompleks ini. Namun, satu hal yang pasti: kita perlu menanamkan kembali nilai-nilai integritas, kerja keras, dan kesabaran pada generasi muda.

Kecerdasan perlu diimbangi dengan akhlak mulia agar ia dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Kita juga perlu menciptakan sistem yang mendukung pengembangan kecerdasan yang fungsional. Sistem pendidikan, lapangan pekerjaan, dan penegakan hukum yang adil menjadi faktor penting dalam mewujudkan hal tersebut. Prabowo, apakah mungkin mewujudkan itu?

Semoga kita semua, terutama para pemimpin dan pengambil kebijakan, dapat bekerja sama untuk menciptakan generasi cerdas yang berintegritas dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Karena kecerdasan tanpa integritas ibarat pedang bermata dua, ia dapat menghancurkan dirinya sendiri dan orang lain.*

Mas Imam Nawawi