NASIONAL.NEWS — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus mendorong riset berbasis teknologi nano melalui pengembangan sensor elektrokimia untuk mendeteksi logam berbahaya, serta pemanfaatan limbah industri berupa terak feronikel sebagai bahan material yang mendukung ekonomi sirkular.
Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) BRIN, Ratno Nuryadi, menyatakan bahwa aplikasi nanomaterial mampu meningkatkan sensitivitas dan akurasi sensor elektronika.
“Saya percaya, dengan kolaborasi dan kerja sama yang baik, kita dapat mengembangkan teknologi nano dan pemanfaatan terak feronikel yang lebih canggih dan efektif,” kata Ratno dalam forum ilmiah ORNAMAT #68, dikutip dari laman resmi BRIN, Jum’at (1/8/2025).
Sensor elektrokimia merupakan alat yang memanfaatkan prinsip elektrokimia untuk mendeteksi keberadaan logam berat.
Peneliti Ahli Muda dari Pusat Riset Metalurgi BRIN, Budi Riza Putra, menjelaskan bahwa sensor ini mengubah data kimiawi menjadi sinyal analitik.
“Sensor ini dapat mendeteksi molekul tanpa melalui proses pemisahan terlebih dahulu, serta memiliki sensitivitas hingga tingkat nanogram per mililiter,” jelasnya.
Komponen utama dari sensor ini adalah reseptor, yang berfungsi mengenali analit, dan elektroda, yang menjadi bagian penting dalam pengukuran elektrokimia. Untuk meningkatkan performa sensor, permukaan elektroda dimodifikasi dengan berbagai material konduktif.
“Nanomaterial telah menjadi kunci dalam pengembangan sensor elektronika yang lebih canggih dan efektif, memungkinkan deteksi yang lebih tepat dan cepat,” lanjut Budi.
Sinyal dari sensor tersebut kemudian diproses melalui perangkat lunak dan ditampilkan melalui layar komputer.
Potensi Terak Feronikel
Selain fokus pada sensor, BRIN juga menyoroti potensi terak feronikel, limbah hasil proses peleburan nikel, sebagai material bernilai.
Peneliti Ahli Madya BRIN, Eni Febriana, mengungkapkan bahwa terak tersebut mengandung magnesium, silika, dan logam tanah jarang yang memiliki nilai tinggi.
Menurut Eni, terdapat dua jenis terak feronikel yang dibedakan berdasarkan metode pendinginannya.
“Pendinginan dengan udara menghasilkan terak yang rapuh dan tidak beraturan, sedangkan pendinginan dengan air menghasilkan material lebih keras, licin, dan berwarna lebih gelap. Jenis ini yang paling umum ditemukan di Indonesia,” katanya.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 21 persen dari total cadangan global yang mencapai 102 juta ton per 2023. Kebutuhan nikel diperkirakan akan terus meningkat, terutama untuk produksi baterai kendaraan listrik.
“Terak feronikel masih berpotensi untuk dimanfaatkan kembali guna menghasilkan bahan yang lebih bernilai,” ujar Eni.
Eni menambahkan bahwa terak dapat digunakan untuk pembuatan keramik, bahan refraktori, mortar, hingga sebagai substitusi bahan baku semen dan agregat.
“Kandungan silika dan magnesium yang tinggi memungkinkan terak dimanfaatkan sebagai bahan substitusi dalam industri konstruksi,” tutupnya.