NASIONAL.NEWS — Ketegangan politik daerah kembali mencuat setelah tindakan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menghentikan truk berpelat BL asal Aceh di Kabupaten Langkat menjadi sorotan publik.
Namun, Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem memilih untuk menanggapinya dengan tenang. Ia menilai tindakan Bobby tidak perlu diperbesar.
“Kita tenang saja, kita nilai itu angin berlalu, kicauan burung yang merugikan dia sendiri,” kata Muzakir Manaf dalam rapat paripurna di kantor DPR Aceh, Senin (29/9/2025) malam.
Pernyataan haslu Mualem ini memperlihatkan sikap dingin Aceh terhadap langkah yang dilakukan Bobby, meski tidak menutup kemungkinan tetap memantau perkembangannya.
Mualem bahkan menyampaikan peringatan dengan ungkapan khas Aceh. “Kita wanti-wanti juga, meunyo ka dipublo, tablo (kalau sudah dijual, kita beli). Nyo ka gatai, tagaro (kalau sudah gatal, kita garuk),” ujarnya.
Pesan halus Mualem itu mengindikasikan bahwa Aceh tidak akan tinggal diam apabila kebijakan tersebut menimbulkan dampak yang merugikan masyarakatnya.
Awal Kontroversi
Kontroversi bermula dari beredarnya video pada Sabtu (27/9/2025). Dalam rekaman itu, terlihat Bobby menghentikan truk berpelat BL yang melintas di Kabupaten Langkat.
Awalnya, Asisten Administrasi Umum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Muhammad Suib, lebih dulu berbicara dengan sopir truk. Ia menjelaskan bahwa pelat kendaraan seharusnya diganti menjadi pelat BK agar pajak kendaraan masuk ke kas daerah Sumatera Utara.
Tidak lama kemudian, Bobby sendiri turun tangan. Ia menegaskan kepada sopir bahwa kebijakan tersebut akan diberlakukan mulai 2026.
“Biar bosmu tahu, kalau enggak nanti bosmu nggak tahu,” ucap Bobby dalam video yang beredar luas.
Mau Tingkatkan Penerimaan Pajak
Dalam keterangannya setelah rapat paripurna di kantor DPRD Sumatera Utara, Senin (29/9/2025), Bobby menjelaskan lebih detail rencananya.
Ia menyebut aturan mewajibkan kendaraan operasional perusahaan menggunakan pelat nomor sesuai domisili dan wilayah operasi dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah.
“Kami hanya mendata, menyosialisasikan, ini akan diberlakukan tahun 2026. Saya minta kepada bupati, tolong didata perusahaan yang berdomisili dan beroperasi di Sumut, tapi menggunakan kendaraan operasionalnya bukan pelat BK agar diganti jadi BK atau BB,” tegas Bobby.
Menurutnya, langkah itu bukan hal baru karena sudah diterapkan di sejumlah provinsi lain seperti Riau, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Dengan demikian, kebijakan ini dianggap Bobby sejalan dengan praktik di daerah lain yang berusaha mengoptimalkan pendapatan daerah dari sektor pajak kendaraan.
Meski demikian, respons dari Aceh menunjukkan adanya sensitivitas hubungan antarprovinsi, terutama ketika kebijakan pajak kendaraan bersinggungan dengan aktivitas ekonomi lintas wilayah.
Muzakir Manaf menegaskan bahwa Aceh tidak ingin terpancing konflik. Namun, ia mengingatkan bahwa pemerintah Aceh akan tetap waspada jika kebijakan tersebut berimplikasi langsung pada kepentingan warganya.
Menarik mengikuti isu ini bagaimana persoalan teknis seperti pelat nomor kendaraan bisa bertransformasi menjadi isu politik antardaerah.
Di satu sisi, Sumatera Utara berupaya meningkatkan pendapatan asli daerah melalui regulasi ketat. Di sisi lain, Aceh menegaskan hak dan martabat warganya, sembari menegaskan sikap tenang namun tidak lengah.