SEBAGAI seorang yang gemar membaca, saya merasa sangat terinspirasi ketika menyimak video Anies Baswedan di YouTube yang membahas buku Born Reading.
Dalam video itu, Anies tidak hanya mengulas isi buku karya Jason Boog tersebut, tetapi juga mengajak pemirsa untuk berbagi pengalaman tentang bagaimana mengajarkan anak-anak mencintai buku sejak dini.
Jason Boog, seorang yang telah lama berkecimpung di dunia penerbitan, menulis Born Reading setelah menjadi ayah.
Buku ini diterbitkan pada tahun 2014 dan lahir dari kegelisahan Boog tentang bagaimana memperkenalkan dunia membaca kepada putrinya di era digital.
Buku ini menawarkan konsep membaca interaktif atau dialogis, sebuah metode yang melibatkan dialog aktif antara anak dan orang tua.
Dalam pendekatan ini, membaca tidak hanya sekadar aktivitas pasif, tetapi sebuah pengalaman yang penuh interaksi dan eksplorasi.
Jason Boog dengan tegas menyatakan bahwa, “Tidak pernah terlalu dini untuk mulai memperkenalkan anak pada dunia buku.”
Sebuah ungkapan yang begitu membekas di hati saya, mengingat pentingnya membangun kecintaan pada buku sejak usia dini.
Namun, buku ini tidak berhenti di situ. Boog juga menyoroti peran teknologi dalam mendukung aktivitas membaca.
Ia menekankan bahwa penggunaan teknologi harus cepat, tepat, dan tidak mengurangi esensi interaksi manusia.
Dunia digital memang menawarkan kemudahan, tetapi membaca melalui interaksi memberikan dampak psikologis dan kecerdasan yang lebih dalam, khususnya pada anak-anak.
Keterampilan penalaran dan critical thinking mereka dapat berkembang lebih baik melalui dialog daripada sekadar aktivitas soliter seperti membaca di layar.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Anies dalam video tersebut.
Menarik sekali melihat bagaimana Anies tidak hanya menjadikan buku Born Reading sebagai sumber inspirasi, tetapi juga menyelipkan pesan-pesan praktis tentang pentingnya mendampingi anak-anak dalam kegiatan membaca.
Ia mengajak para orang tua untuk aktif terlibat, menciptakan momen kebersamaan yang bermakna, dan memanfaatkan teknologi dengan bijak.
Bagi saya, buku ini mengajarkan bahwa membaca adalah lebih dari sekadar memahami teks.
Membaca adalah tentang menciptakan koneksi – koneksi dengan cerita, dengan ide, dan yang terpenting, dengan orang-orang di sekitar kita.
Dalam konteks ini, buku Born Reading memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana membangun generasi yang tidak hanya melek huruf, tetapi juga melek sosial dan emosional.
Sebagai pemerhati dunia literasi, saya merasa bahwa pesan utama buku ini begitu relevan di era digital seperti sekarang.
Dunia mungkin telah berubah, tetapi esensi membaca sebagai sarana membangun interaksi manusia tetap tak tergantikan.
Inilah yang membuat Born Reading tidak hanya sekadar buku panduan membaca, tetapi juga sebuah ajakan untuk kembali ke nilai-nilai dasar dalam mendidik anak: cinta, perhatian, dan keterlibatan aktif.
Meski telah 10 tahun berlalu, buku ini memberikan perspektif baru yang memadukan nilai tradisional membaca dengan keunggulan teknologi modern.
Saya percaya, seperti yang disampaikan Jason Boog, tidak ada kata terlalu dini untuk memulai. Bahkan kita harus memanfaatkan minat anak sebagai gerbang menuju kecintaan terhadap membaca, seperti Anies Baswedan tegaskan.[]
*) Imam Nawawi, penulis adalah Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah 2020-2023, Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)