Burasa Perantauan Mahasiswa Sulawesi di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Bogor Sambut Iduladha

NN Newsroom

Senin, 26 Mei 2025

Mahasiswa perantauan bikin burasa (Foto: Hukma Kaulan Karim/ Nasional.news)
Mahasiswa perantauan bikin burasa (Foto: Hukma Kaulan Karima/ Nasional.news)

NASIONAL.NEWS — Halaman kecil di sudut Pondok Pesantren Mahasiswa Nahdlatul Ulama (PPMNU), Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Bogor, sore itu berubah fungsi, Ahad (25/5/2025).

Halaman itu bukan lagi sekadar tempat parkir atau titik temu mahasiswa, melainkan dapur terbuka penuh semangat. Daun pisang berserakan di atas terpal, nampan besar berisi beras ketan bercampur santan, dan panci-panci besar bersiap untuk menanak.

Di sana, mahasiswa asal Sulawesi duduk bersila, melipat daun dan membungkus burasa—makanan khas yang menjadi simbol perayaan besar seperti Idulfitri dan Iduladha.

Simbol Kebersamaan dan Kehangatan Persaudaraan

“Burasa bukan sekadar sajian makanan, tapi simbol kebersamaan dan kehangatan persaudaraan antar sesama anak rantau asal Sulawesi,” kata Vhita Khairunnisa.

Mahasiswa Semester 4 Program Studi SPI Unusia dari Gorontalo ini, menjelaskan, buras atau burasa terbuat dari beras yang dimasak dengan santan, dibungkus daun pisang, dan dikukus cukup lama hingga matang maksimal.

Burasa biasanya disajikan dengan opor ayam, rendang, sambal goreng ati, atau ayam bumbu.

“Ia melekat dalam memori kolektif warga Sulawesi sebagai sajian lebaran yang tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga menghangatkan jiwa,” lanjut Vhita menjelaskan.

Datang dari Berbagai Daerah di Sulawesi

Perjumpaan para mahasiswa ini datang dari berbagai penjuru Sulawesi: Sulawesi Selatan, Tengah, Barat, Tenggara, hingga Gorontalo. Mereka membawa kerinduan yang sama—pada rumah, pada suasana malam takbiran, pada wangi santan yang mendidih di dapur keluarga.

“Di kampung, malam sebelum lebaran itu dapur penuh dengan suara. Ibu, tante, sepupu semua sibuk. Bau santan dan daun pisang itu khas banget. Di sini, kami coba hidupkan lagi suasana itu, meskipun seadanya,” ujar Vhita.

Proses Membuat Burasa dan Spirit Gotong Royong

Syaki Muhammad, mahasiswa Semester 6 SPI Unusia dari Sulawesi Selatan, membeberkan proses pembuatan burasa. Kata dia, prosesnya membutuhkan waktu, ketelatenan, dan kesabaran.

Setelah direndam dan dimasak setengah matang dengan santan, beras dibungkus daun pisang, dilipat rapi, dan diikat tali rafia.

Semua dikerjakan bersama—tanpa melihat asal daerah, semester, atau program studi. Suasana gotong royong terasa seperti keluarga besar yang berkumpul kembali, jauh dari rumah tapi tak kehilangan rumah.

Di tengah kegiatan membungkus, mereka saling berbagi cerita: tentang lebaran di kampung halaman, silaturahmi, suara beduk masjid, dan makanan favorit keluarga.

Tawa dan nostalgia berpadu dalam kegiatan yang sederhana namun bermakna.

“Kalau tidak ada kegiatan seperti ini, mungkin Iduladha hanya berlalu seperti hari biasa. Tapi dengan masak bareng seperti ini, rasanya jadi berbeda. Ada nuansa yang menyentuh hati,” ungkap Syaki.

Kepulan Aroma yang Menenangkan

Malam pun mulai turun, namun api di bawah panci besar tetap menyala. Burasa dikukus berjam-jam, uapnya mengepul membawa aroma yang menenangkan.

Semua disiapkan untuk disantap usai salat Id, lengkap dengan sambal dan lauk sederhana. Mereka juga berencana membagikan makanan kepada teman-teman lain di asrama.

Berlokasi di Desa Tegal, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, kegiatan ini menjadi lebih dari sekadar masak bersama. Ia adalah cara menjembatani kerinduan, merawat tradisi, dan memperkuat solidaritas mahasiswa Sulawesi di perantauan.

Di tengah kesibukan akademik, kegiatan ini menjadi ruang jeda emosional.

Sebuah bentuk “healing” yang memulihkan ingatan dan semangat, menegaskan bahwa meski jauh dari rumah, semangat merawat identitas dan budaya tak pernah benar-benar pergi.

Ketika suara kota mulai sepi, suara riuh mahasiswa Sulawesi dan uap kukusan burasa menjadi penanda: kampus pun bisa menjadi kampung, ketika tradisi dan kebersamaan dihidupkan kembali dengan penuh makna.*/

*) Hukma Kaulan Karima, penulis santri Pondok Pesantren Mahasiswa Nahdlatul Ulama (PPMNU) dan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Bogor

TERKAIT LAINNYA