Daging Qurban, Jalan Terjal dan Doa yang Tidak Pernah Tersesat

Abdul Chadjib Halik

Selasa, 10 Juni 2025

Qurban di pedalaman Desa Tipar, Garut Selatan (Foto: istimewa/ nasional.news)

KITA hidup di zaman di mana segalanya bisa dibeli — termasuk perasaan dermawan. Klik satu kali, transfer selesai, lalu kita merasa telah berbuat mulia.

Padahal, di balik satu ekor kambing yang dikirim lewat layar, ada dunia yang jauh dari notifikasi: ada desa, ada jalan berlumpur, ada peluh yang tak masuk story.

Desa Tipar, Garut Selatan. Tidak ada sinyal stabil, tidak ada kafe literasi, apalagi merchant digital.

Tapi di sanalah, 100 ekor hewan qurban dari para muhsinin diturunkan. Tidak dalam bentuk like atau share, tapi potongan daging yang ditadah dengan air mata bahagia.

Qurban Bukan Tentang Kita yang Memberi

Sebagian dari kita mungkin mengira, “Saya ini donatur, saya sudah memberi.” Tapi siapa tahu — justru kita yang sedang diberi.

Diberi kesempatan untuk melepaskan ego. Diberi waktu untuk ikut andil dalam kisah yang lebih besar dari diri sendiri.

Diberi peluang untuk menyembelih bukan hanya hewan, tapi rasa kepemilikan semu atas harta yang sebenarnya titipan.

Karena yang sesungguhnya sampai ke langit bukan daging, bukan darah, tapi ketulusan. Sebagaimana firman Allah:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37)

Lebih Jauh Lagi ke Dalam Diri

Tim relawan Lembaga Amil Zakat Nasional Baitulmaal Hidayatullah (Laznas BMH) menempuh perjalanan delapan jam menuju wilayah yang — jujur saja — tidak tercantum di Google Maps versi cepat.

Tapi, barangkali perjalanan yang paling jauh bukan ke Tipar, melainkan ke dalam diri kita masing-masing, yaitu sejauh mana kita rela keluar dari zona nyaman untuk sekadar mengingat satu hal penting — bahwa hidup bukan hanya tentang kita.

Lucunya, kadang kita lebih takut kehilangan kuota internet daripada kehilangan makna. Padahal yang benar-benar menyambung hati itu bukan WiFi, tapi kepedulian.

Kambing yang Mendekatkan

Di desa yang berada di Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat itu, daging qurban tidak hanya dibagikan, tapi dimasak bersama.

Bukan sekadar logistik, tapi logika kasih sayang. Anak-anak tertawa, ibu-ibu memotong bawang sambil bercerita, para ayah menyusun kayu bakar — dan semuanya bersatu dalam satu sajian sederhana: gulai Idul Adha.

Tak ada influencer, tak ada konten viral, tapi di sanalah, kebahagiaan terasa utuh. Kadang, yang kita cari di restoran mewah dengan harga fantastis justru hadir di dapur kayu yang penuh syukur.

Doa Menembus Batas

Tidak semua dari kita (mudhohi) bisa hadir langsung ke daerah terpencil itu. Tapi jangan khawatir, karena doa tidak butuh tiket perjalanan.

Doa bisa menembus batas, melintasi ruang dan waktu, menyentuh sisi hidup kita yang bahkan kita sendiri belum sempat rawat.

Dalam senyum warga Tipar yang menerima qurban itu, ada harapan yang diam-diam mereka kirim untuk para pequrban: “Semoga sehat, semoga rezekinya halal dan berkah, semoga keluarganya bahagia.”

Dan, kita tidak pernah tahu — mungkin hidup kita baik-baik saja bukan karena ibadah kita, tapi karena seseorang di pelosok desa pernah menyebut nama kita dalam doa sederhana di hari raya.

Ada Jalan Pulang

Qurban adalah pelajaran spiritual paling elegan. Ia tidak berisik, tapi menampar lembut. Ia tidak menuntut, tapi mengajak dengan penuh cinta: “Maukah kau lepaskan sedikit, agar bisa mendapat lebih?”

Karena sesungguhnya, berqurban bukan tentang mengurangi harta, tapi memperluas makna. Bukan tentang menjadi kaya di mata orang, tapi lapang di hadapan Tuhan.

Dan, mungkin, yang paling indah dari qurban bukanlah daging yang dibagikan, melainkan jiwa yang ditata ulang — agar lebih ikhlas, lebih rendah hati, dan lebih layak dicintai Ilahi.

“Kalau hidup hanya tentang menumpuk, maka akhir hidup adalah ketakutan. Tapi kalau hidup tentang memberi, maka ujungnya adalah ketenangan.”

*) Abdul Chadjib Halik, penulis Bendahara Pengurus BMH

TERKAIT LAINNYA