SEIRING perkembangan antarbangsa dunia saat ini yang semakin borderless, naturalisasi telah menjadi strategi yang sering digunakan oleh federasi sepak bola berbagai negara untuk memperkuat tim nasional mereka. PSSI pun tidak terkecuali dalam menerapkan kebijakan ini, terutama dengan target ambisius lolos ke Piala Dunia 2026.
Salah satu pemain yang kini tengah menjalani proses naturalisasi adalah Emilio Audero Mulyadi, kiper yang memiliki darah Indonesia melalui ayahnya. Namun, perjalanan naturalisasi Audero bukan tanpa kontroversi, mengingat sebelumnya ia dikabarkan “jual mahal” dalam merespons peluang membela Timnas Indonesia.

Naturalisasi dan Tantangan Identitas
Naturalisasi pemain sepak bola kerap memunculkan dilema antara nasionalisme dan pragmatisme. Seorang pemain dengan dua kewarganegaraan memiliki kebebasan memilih negara yang ingin dibelanya, yang sering kali didasarkan pada aspek karier, peluang bermain di level internasional, atau faktor pribadi lainnya.
Dalam kasus Emilio Audero, isu ketidakinginan atau keraguannya untuk menerima tawaran Timnas Indonesia di masa lalu menjadi salah satu alasan mengapa publik meragukan komitmennya saat ini.
Jika melihat rekam jejaknya, Audero adalah produk akademi Juventus yang telah berkiprah di Serie A bersama Sampdoria, Inter Milan, sempat bersama Como 1907. Kemudian dipinjamkan ke Venezia, dan sekarang status pemain peminjaman di Palermo. Kariernya cukup solid di Eropa, meskipun tidak mencapai level elite di klub-klub besar.
Dengan pengalaman tersebut, kehadiran Audero dalam skuad Garuda jelas memberikan peningkatan kualitas di sektor penjaga gawang.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah naturalisasi ini benar-benar merupakan keputusan atas dasar kebanggaan membela Merah Putih, atau sekadar langkah pragmatis di penghujung kariernya?
Aspek Teknis dan Kebutuhan Timnas
Secara teknis, naturalisasi Audero dapat dipahami sebagai bagian dari strategi PSSI dalam memperkuat lini belakang timnas. Kehadirannya diharapkan bisa menjadi pesaing bagi Maarten Paes, yang saat ini menjadi pilihan utama di bawah mistar gawang.
Namun, harus diakui bahwa posisi kiper berbeda dengan pemain outfield dalam hal persaingan. Dalam sepak bola modern, pelatih cenderung mempertahankan satu kiper utama yang konsisten dan hanya menggantinya jika terjadi cedera atau performa yang menurun drastis.
Dengan demikian, apakah benar-benar diperlukan seorang kiper naturalisasi baru, ataukah PSSI justru harus lebih fokus mengembangkan kiper-kiper lokal?
Jika melihat tren di berbagai negara, banyak tim nasional yang berhasil mengembangkan penjaga gawang dari dalam negeri tanpa perlu melakukan naturalisasi besar-besaran.
Jepang, Korea Selatan, bahkan Thailand, masih mengandalkan produk domestik mereka. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah Indonesia mengalami krisis kiper berkualitas, ataukah ini sekadar strategi instan tanpa pembinaan jangka panjang?
Naturalisasi dan Tanggung Jawab Moral
Selain aspek teknis, naturalisasi juga memiliki dimensi moral yang tidak bisa diabaikan. Dalam pernyataannya, Ketua Umum PSSI Erick Thohir menegaskan bahwa semua proses naturalisasi dilakukan secara transparan dan dengan diskusi bersama Badan Tim Nasional (BTN) serta pelatih kepala.
Tetapi, di sisi lain, tentu saja transparansi administratif saja tidak cukup. Publik berhak mempertanyakan apakah setiap pemain yang dinaturalisasi benar-benar memiliki komitmen untuk membela Timnas Indonesia atau hanya menjadikannya sebagai pilihan cadangan setelah peluang di negara lain tertutup.
Sejarah telah mencatat beberapa kasus di mana pemain naturalisasi kehilangan motivasi setelah beberapa kali bermain untuk timnas. Dalam hal ini, penting bagi PSSI untuk tidak sekadar mengejar hasil instan, tetapi juga memastikan bahwa pemain yang dinaturalisasi memiliki dedikasi jangka panjang.
Emilio Audero, yang sebelumnya disebut-sebut “jual mahal”, kini harus membuktikan bahwa keputusannya untuk menjadi Warga Negara Indonesia bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah panggilan jiwa untuk membela tanah kelahirannya.
Pada akhirnya, keputusan naturalisasi harus dilihat dari perspektif yang lebih luas. Jika Audero benar-benar berkomitmen dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi Timnas Indonesia, maka naturalisasinya bisa dianggap sebagai langkah yang tepat.
Walakin, jika ini hanya sekadar langkah pragmatis yang tidak berorientasi pada keberlanjutan, maka PSSI harus mulai mempertimbangkan kebijakan yang lebih strategis dalam pengembangan sepak bola nasional. Sebab, identitas dan kebanggaan nasional dalam sepak bola tidak bisa dibeli—ia harus ditanam dan dibangun sejak dini.
OPINI NASIONAL.NEWS