SECARA bahasa, kata dunia juga terdapat dalam bahasa Arab (“ad-dunyaa“- الدُّنْيَا) yang memiliki keunikan dalam susunan huruf, yaitu dengan atau tanpa huruf Alif dan Lam di depannya. Ia tidak menjadikan pada akhir katanya berupa “u”, sebagaimana “wazn” atau bentuk kata pada umumnya, seperti “al-akhirotu”, “al-la’bu” dan “al-amalu”.
Secara pengertian, kata dunia disebut hingga beberapa kali dalam al-Qur’an, juga Hadits Nabi Muhammad Shallahu ‘alayhi wa sallam. Namun secara bineritas, pengertian tersebut dapat dipahami dalam dua pola yang penulis klasifikasikan yaitu, dunia sebagai permainan dan senda gurau serta sebagai tempat mengumpulkan bekal berupa amal salih.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Hadid Ayat 20:
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ ٢٠
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya”.
Kemudian, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-‘Ankabut: 64).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan pada diri kalian setelah peninggalanku ialah dibukakannya bunga dunia dan pernak perniknya untuk kalian“
Namun demikian, bagaimanapun cara hidup manusia serta apa pun jalan yang ditempuh dalam berkehidupan di dunia ini, pada prinsipnya identik dengan kepayahan. Hal ini terkonfirmasi dalam beberapa ayat berikut:
“Wahai manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuiNya” (Q. S. Al-Insyiqaq: 6)
Kemudian dalam Surat al-Balad, “dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (10), “maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki dan sukar?” (11).
Jika pun kehidupan di dunia ini dimaknai sebagai wahana permainan, bukankah bermain juga ada lelahnya?
Artinya, jika bermain dapat melelahkan, apalagi yang memaknai kehidupan ini sebagai ladang beramal, atau dalam bahasa Indonesianya bekerja.
Jika mau dirunut awal sejarah hadirnya di dunia, manusia pada dasarnya adalah makhluk surga yang diusir lantaran mengikuti bisikan iblis untuk mendekati al-Khuldi sebagai aturan tunggal dari Allah.
Hanya saja, Iblis abadi dengan kutukan (derajat laknat Allah) yang melekat padanya. Berbeda dengan manusia, yang masih bisa, atau, masih ada kesempatan baginya untuk pulang, atau kembali ke surga sebagai kampung halaman yang sesungguhnya.
Dalam al-Qur’an Surat al-Ashr Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” (2), “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehqt-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran” (3).
Sepatutnya kita menyadari esensi manusia dan eksistensi dunia, agar tidak menjadi pengikut iblis yang akan mengalami kepayahan abadi di neraka, sebagai seburuk-buruknya tempat kembali.
Maka, sebaiknya dan sudah semestinya kita menginginkan surga dan senantiasa menempuh jalan pulang ke sana.
*) Nazwar, S. Fil. I., M. Phil, penulis adalah dosen dan penulis lepas Yogyakarta