DI TENGAH hiruk-pikuk wacana ekonomi dan investasi nasional, nama Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara—atau yang lebih akrab disebut Danantara—kini jadi buah bibir. Bukan tanpa alasan, lembaga ini digadang-gadang sebagai tonggak baru dalam transformasi ekonomi Indonesia, mengelola aset strategis dan mendorong pertumbuhan yang inklusif.
Tapi, seperti halnya setiap ide besar, Danantara tak luput dari sorotan kritis dan bahkan salah paham. Ada yang memandangnya sebagai “super holding” yang bakal menelan BUMN, ada pula yang khawatir ini cuma jadi alat politik baru. Nah, di sinilah pentingnya kita mendengar suara-suara yang tak hanya lantang, tapi juga punya bobot.
Salah satunya datang dari Fahri Hamzah, politikus yang dikenal vokal dan tak ragu mengurai benang kusut kebijakan publik. Lewat cuitannya di X, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman ini mencoba meluruskan pandangan keliru soal Danantara dengan gaya yang khas: tajam, tapi tetap mengundang kita untuk berpikir.
Bagi yang mengenalnya, ini bukan hal baru. Pengalaman panjangnya di DPR, termasuk di Komisi VI yang mengawasi BUMN, memberi dia lensa khusus untuk menilai kebijakan seperti ini. Ia tak sekadar bicara soal teknis, tapi juga mengaitkannya dengan visi besar Pasal 33 UUD 1945—bagaimana kekayaan negara harus benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan cuma jadi mainan elit.
Opini Fahri ini layak disimak, bukan karena dia selalu benar, tapi karena ia menawarkan sudut pandang yang memaksa kita keluar dari zona nyaman berpikir. Di tengah banjir informasi yang kadang bikin bingung, tulisannya bisa jadi pijakan untuk memahami Danantara lebih jernih. Yuk, kita cermati bersama pandangan Fahri Hamzah yang saya kutip dari akun X pribadinya berikut ini!
DANANTARA
DANA SIAPA?
Fahri Hamzah
Saya hampir lima tahun berada di komisi VI DPR RI pada waktu itu yang mengawasi Kementrian BUMN (yang menurut seharusnya bukan mengawasi BUMN). Sekitar periode 2004-2009 dan pada akhir periode itu saya menulis buku berjudul Negara, BUMN dan Kesejahteraan Rakyat.
Saya menulis judul ini untuk menegaskan satu persoalan laten dalam BUMN kita tentang implementasi pasal 33 UUD 1945 yang di suatu sisi menyebutkan bahwa kekayaan alam itu “dikuasai oleh negara” tetapi di sisi lain “dipergunakan sebesar-sebesarnya untuk kesejahteraan rakyat”.
Di satu sisi, jika BUMN dikuasai negara dianggap hanya akan menjadi tempat bagi kepentingan politik. Di sisi lain, kesejahteraan rakyat dianggap keharusan secara pragmatis untuk melihat manfaat langsung BUMN bagi rakyat.
Profit
Saya mengkaji banyak regulasi tentang BUMN yang menurut kesimpulan saya waktu itu, tentang “profit” untuk tidak terlalu diatur secara ketat, sebab memang negara mengharapkan “kesejahteraan rakyat” yang jauh lebih besar dari sekedar profit. Profit adalah tujuan dari bisnis sedangkan kesejahteraan rakyat adalah tujuan dari negara. Maka di sinilah nampak ambiguitasnya. Kementerian dan penjabat-pejabat BUMN tidak paham di mana ladang permainannya.
Di satu sisi, BUMN menganggap dirinya PT (perseroan terbatas) dengan keinginan mencari untung yang tinggi tapi faktanya mereka ditarik dalam pusaran politik yang kental. Mulai dari perbedaan kepentingan sektoral eksekutif sampai pengawasan legislatif yang tidak sehat bagi tradisi profesionalisme kerja.
Kecenderungannya, Kementerian dan lembaga selalu ingin BUMN mau menjadi operator mereka sebab “mudah diajak ngomong”. Di sisi lain, lembaga legislatif tidak dibatasi wewenangnya dalam pengawasan teknis dan terkadang “mengawasi” lebih ketat dari pengawasan komisaris yang seharusnya detail dan profesional.
Dulu saya menyaksikan anggota legislatif dalam sidang-sidang komisi mengajukan pertanyaan dari perusahaan rekannya yang kalah tender dengan dengan begitu detail dan kasuistik. Kalau sudah demikian biasanya tidak bisa dihindari negosiasi di belakang layar.
Kesimpulan Lama
Sejak mengikuti dinamika dan polemik BUMN sampai sekarang, saya menemukan bahwa sekarang ini ada “Raksasa Tidur” yang bergerak tidak teratur dan jadwal bekerjanya tidak jelas, terhuyung-huyung berjalan tanpa arah dan centang perenang.
Sementara, di luar sana di negara-negara seperti Norwegia, Qatar, uni emirat Arab, Singapore, Malaysia dan lain-lain, mereka mendapatkan banyak sekali uang dan manfaat dari pengelolaan sumber daya alam dari badan usaha milik negara untuk menjadi Sovereign Wealth Fund.
Saya terbayang-bayang bahwa suatu hari akan ada pemimpin yang berani secara ekstrim melakukan konsolidasi BUMN untuk menjadi entitas ekonomi yang lebih ter koordinasi (atau bahkan mungkin saya sebut terkomando), sehingga kekuatannya betul-betul menjadi menifestasi kekuatan nasional yang menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa negara ini tidak saja kaya raya, tetapi juga mampu melahirkan kekuatan pasar yang superbesar dan kuat.
Lahirlah Danantara
Maka konsolidasi BUMN itu sekarang telah terjadi pada tahap pertama. Hasil dari konsolidasi itu adalah dana negara yang kita bayangkan sebagai akumulasi dari kekayaan negara kita yang langsung menjadi kekuatan yang sangat besar dan diperhitungkan.
Sekarang, telah lahir DANANTARA, pada 24 Februari 2025 yang lalu oleh seorang presiden yang telah lama saya mimpikan akan menahkodai negeri ini dengan gagah berani. Dan apa yang dilakukannya ini bukanlah kesimpulan 1-2 hari, tapi ini kesimpulan dari diskusi yg lama dan pergulatan pemikiran dengan ekonom besar yang berpengalaman.
Harus mulai kita akui dengan rendah hati bahwa di banding Presiden kita yg lain, meski berlatar militer, Presiden Probowo adalah presiden Indonesia yang cukup memahami ilmu ekonomi, selain presiden Habibie yang memahami ilmu ekonomi sebagai bagian dari pada ilmu pengetahuan.
Dan bukan kebetulan bahwa Prabowo dan Habibie adalah sahabat sejati sejak lama, serta Pak Habibie dalam banyak pengakuannya adalah pengagum Prof. Sumitro Djoyohadikusumo yang tak lain adalah ayah biologis Prabowo.
Maka kita harus melihat bahwa seluruh kebijakan presiden Prabowo itu bersumber pada satu pendirian teoretis tentang bagaimana ekonomi ini dikelola dan ditata ke depan, terlepas apakah pendirian itu berada di sisi kiri atau di sisi kanan.
Maka, Danantara beserta seluruh dinamika dalam rencana dan pendiriannya adalah simbol dari hadirnya keberanian dalam kepemimpinan ekonomi Indonesia yang memang semakin ke depan pemimpin negara harus semakin paham ilmu dan praktik perekonomian.
Penulis adalah Mantan Anggota Komisi VI DPR-RI (2004-2009), Wakil Ketua DPR RI Bidang Kesejahteraan Rakyat (2014-2019).