Gaya Kepemimpinan Jusuf Kalla, Menavigasi Krisis dengan Keputusan Cepat dan Berdasar

Adam Sukiman

Selasa, 3 Juni 2025

Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, saat berbicara dalam acara Meet The Leader Universitas Paramadina bertajuk "Leading Through The Storm: Resilient Leadership in Time of Crisis", di Universitas Paramadina Kampus Kuningan, Kamis, 22 Mei 2025 (Foto: prtsc nasional.news/ Youtube Universitas Paramadina)

HAJI Muhammad Jusuf Kalla, sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, dikenal sebagai sosok pemimpin yang lugas, pragmatis, dan berorientasi pada hasil.

Dalam pernyataannya pada acara Meet The Leader bertajuk “Leading Through The Storm: Resilient Leadership in Time of Crisis”, di Universitas Paramadina (22/5/2025), ia menegaskan bahwa tugas pemimpin adalah menginspirasi, mempersatukan, memberikan dorongan semangat, dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pengambilan keputusan yang cepat, berdasar, dan mudah dipahami oleh bawahan, terutama di tengah krisis.

“Keputusan yang baik harus cepat, punya dasar, dan dipahami oleh bawahan,” katanya.

Kutipan ini mencerminkan gaya kepemimpinan JK yang selaras dengan beberapa teori manajemen modern, seperti kepemimpinan transformasional, situasional, dan pragmatik.

JK dan Kepemimpinan Transformasional

Jusuf Kalla menegaskan bahwa pemimpin harus menginspirasi dan mempersatukan. Ini mencerminkan elemen kepemimpinan transformasional, yang dikembangkan oleh James MacGregor Burns dan Bernard Bass.

Kepemimpinan transformasional menekankan kemampuan pemimpin untuk memotivasi pengikut melalui visi yang jelas, komunikasi yang efektif, dan pembangunan kepercayaan.

Pria yang akrab disapa Pak JK, dalam berbagai kesempatan, ini dikenal mampu mempersatukan kelompok-kelompok yang berbeda, seperti saat ia memfasilitasi penyelesaian konflik di Aceh dan Poso.

Pendekatannya tidak hanya berfokus pada penyelesaian masalah teknis, tetapi juga pada membangun semangat kolektif dan kepercayaan antarpihak.

“Tugas pemimpin adalah menginspirasi, mempersatukan, memberikan dorongan semangat, dan harus bertanggung jawab karena dia harus mengambil keputusan,” kata JK.

Dalam teori transformasional, seorang pemimpin harus memiliki karisma, kemampuan intelektual untuk merangsang pemikiran kritis, dan perhatian individual terhadap kebutuhan pengikut.

JK menunjukkan ini melalui gaya komunikasinya yang lugas dan pendekatan yang berorientasi pada solusi.

Ia tidak hanya memberikan arahan, tetapi juga memastikan bahwa visinya dipahami dan diterima oleh bawahan, sebagaimana ia nyatakan bahwa keputusan harus “dipahami oleh bawahan.”

Pendekatan ala Pak JK ini memperkuat kohesi tim dan meminimalkan resistensi, yang krusial dalam situasi krisis.

Pendekatan Pragmatik

JK menegaskan bahwa keputusan yang baik harus cepat, memiliki dasar yang kuat, dan mudah dipahami. Gaya kepemimpinan ini merefleksikan pendekatan pragmatik dalam manajemen, yang menekankan efisiensi dan efektivitas dalam pengambilan keputusan.

Dalam teori manajemen, pendekatan ini selaras dengan model pengambilan keputusan rasional yang dikembangkan oleh Herbert Simon, di mana pemimpin mengumpulkan informasi yang relevan, mengevaluasi alternatif, dan memilih solusi terbaik dalam waktu singkat.

Namun, JK juga menyadari bahwa dalam krisis, waktu adalah faktor kritis, sehingga kecepatan tidak boleh mengorbankan kualitas keputusan.

Pengalaman JK sebagai pengusaha dan negarawan memperkuat pendekatan ini.

Sebagai contoh, saat menangani krisis ekonomi pasca-tsunami Aceh 2004, JK sebagai Wakil Presiden kala itu mendorong rekonstruksi yang cepat namun terkoordinasi, dengan memastikan alokasi sumber daya yang efisien dan komunikasi yang jelas kepada semua pemangku kepentingan. Pendekatan ini menunjukkan kemampuannya menyeimbangkan kecepatan dan ketepatan, yang menjadi ciri pemimpin pragmatis.

Kepemimpinan di Tengah Badai

“Pemimpin yang hebat bukan hanya mereka yang berhasil dalam kondisi normal, tetapi mereka yang mampu mengambil keputusan tepat saat badai datang,” kata JK lebih lanjut, masih dalam Meet The Leader di Universitas Paramadina itu.

Pernyataan JK bahwa pemimpin hebat adalah mereka yang mampu mengambil keputusan tepat saat badai datang selaras dengan teori kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard.

Teori ini menegaskan bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang universal; pemimpin harus menyesuaikan pendekatan mereka berdasarkan konteks dan kebutuhan pengikut.

Dalam situasi krisis, seperti konflik atau bencana, pemimpin harus lebih direktif, memberikan arahan yang jelas dan tegas, sementara dalam kondisi stabil, pendekatan yang lebih partisipatif dapat digunakan.

JK menunjukkan fleksibilitas ini dalam berbagai peran kepemimpinannya. Saat menangani negosiasi damai di Aceh, ia menggunakan pendekatan direktif untuk memastikan semua pihak mematuhi kesepakatan, tetapi juga membuka ruang dialog untuk membangun kepercayaan.

Dalam konteks lain, seperti saat memimpin Partai Golkar, ia lebih mengedepankan pendekatan kolaboratif untuk mempersatukan faksi-faksi internal. Kemampuan ini menunjukkan bahwa Kalla memahami dinamika situasional dan mampu menyesuaikan gaya kepemimpinannya sesuai kebutuhan.

Tanggung Jawab sebagai Inti Kepemimpinan

JK menegaskan bahwa pemimpin harus bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. Ini mencerminkan prinsip dasar dalam teori manajemen, khususnya dalam konsep akuntabilitas.

Menurut Robert Behn, akuntabilitas bukan hanya tentang menerima konsekuensi, tetapi juga tentang memastikan bahwa keputusan yang diambil memiliki dampak positif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan.

JK menunjukkan ini melalui pendekatannya yang transparan dan berorientasi pada hasil, seperti saat ia memimpin upaya rekonstruksi pasca-bencana atau menangani krisis politik.

Tanggung jawab juga berarti kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar darinya. Meskipun JK dikenal sebagai pemimpin yang tegas, ia juga menunjukkan kerendahan hati dalam mengakui keterbatasan dan mencari solusi bersama.

Hal ini memperkuat kepercayaan bawahan dan publik terhadap kepemimpinannya, sekaligus mencerminkan prinsip servant leadership, di mana pemimpin memprioritaskan kebutuhan organisasi dan masyarakat di atas kepentingan pribadi.

Aktualisasi Gaya Kepemimpinan JK

Gaya kepemimpinan JK tetap relevan dalam konteks manajemen modern, terutama di era ketidakpastian global seperti pandemi, konflik geopolitik, dan perubahan iklim.

Pendekatannya yang cepat, berdasar, dan inklusif menawarkan pelajaran berharga bagi pemimpin di berbagai sektor. Dalam dunia bisnis, misalnya, kemampuan untuk mengambil keputusan cepat di tengah volatilitas pasar sangat penting.

Dalam sektor publik, kemampuan untuk mempersatukan berbagai kepentingan dan memberikan inspirasi dapat mendorong stabilitas sosial.

Namun, gaya kepemimpinan JK juga memiliki tantangan. Pendekatan yang sangat pragmatis dan direktif dapat dianggap kurang fleksibel dalam situasi yang membutuhkan inovasi atau pendekatan jangka panjang.

Selain itu, fokus pada kecepatan pengambilan keputusan kadang-kadang dapat mengorbankan konsultasi yang mendalam dengan semua pemangku kepentingan.

Meski demikian, kekuatan JK terletak pada kemampuannya menyeimbangkan kecepatan, ketepatan, dan tanggung jawab, menjadikannya teladan bagi pemimpin di era krisis.

Pelajaran dari kepemimpinan seorang Jusuf Kalla relevan tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk dunia yang terus menghadapi tantangan kompleks.[]

TERKAIT LAINNYA