Gibran: Sebuah Kepanjangan Tangan Tuhan

GIBRAN Rakabuming Raka melenggang pasti menuju panggung demokrasi setelah mengantongi tiket sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang diberikan secara ‘gratis’ oleh sang paman.

Sang paman, Anwar Usman namanya, saat itu didapuk sebagai ketua kepanjangan ‘tangan-tangan tuhan’ di Mahkamah Konstitusi.

Di dalam debat cawapres, Gibran memberikan gimik yang tak elok dipandang mata dan didengar oleh telinga. Perilaku yang tak pernah dilakukan cawapres di belahan dunia manapun.

Survei kepada para mahasiswa Indonesia di Selandia Baru menilai bahwa Gibran bersifat arogan, sikap psikologis dimana seseorang merasa lebih penting dan berhak dihargai lebih daripada orang lain.

Arogansi tidak hanya tercermin dari kata-kata (verbal), tapi juga dari perilaku (non-verbal), seperti gestur yang merendahkan orang lain. Perilaku dengan nilai minus ini hadir ketika menjawab pertanyaan dari Prof. Mahfud.

Arogansi bisa menjadi indikator ketika seseorang merasa inferior, merasa ada kelemahan di dalam diri yang ingin ditutupi, baik lemah secara komunikasi maupun ilmu pengetahuan.

Lebih jauh lagi mereka berpendapat bahwa Gibran tak memiliki pengetahuan tentang pelbagai isu penting di Indonesia. Ia hanya mengutarakan istilah-istilah asing yang bahkan tak dimengerti dirinya sendiri.

3296581934 777d34f528 o

Pemimpin dan Pengetahuan

Mencari ilmu adalah sebuah proses penyulingan akal pikiran secara alamiah yang tak bisa dilakukan secara instan ataupun diturunkan. Ilmu harus ada di dalam otak dan terserap oleh sanubari sebelum melahirkan keputusan.

Pemimpin harus memiliki pengetahuan untuk membuat kebijakan yang mensejahterakan warga. Bukan untuk semakin memperkaya ayah dan bunda.

Gibran disematkan sebagai perwakilan generasi milenial. Para kaum milenial itu pun menyanggah dengan mengatakan bahwa Gibran jauh panggang dari api – Ia sangat tidak merepresentasikan milenial.

Generasi ini dikenal dengan kemampuan untuk melihat dunia dari perspektif yang unik sembari menjaga kesopanan dan etika. Kehadiran Gibran di panggung politik dinasti sama sekali tak mencerminkan nilai-nilai itu atau bahkan merusak citra dari generasi milenial itu sendiri.

Robert Waldinger, seorang psikiater di fakultas kedokteran Universitas Harvard melakukan studi terpanjang di muka bumi tentang orang dewasa. Penelitian itu dilakukan pada 724 laki-laki dalam kurun waktu 85 tahun.

Hasil penelitian itu mengemukakan bahwa kebahagian bukanlah terletak pada uang, kekuasaan, atau karir yang kebanyakan orang pikir. Tetapi kebahagiaan terletak pada hubungan yang baik, dan kunci terciptanya hubungan baik itu ada pada kemampuan merawat relasi antara diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Jokowi sudah berada di usia senja kekuasaanya. Jika ia ingin memiliki masa tua yang bahagia, maka ia harus menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat Indonesia. Bukan melukainya.

Menjerumuskan anak ke lembah politik tanpa memiliki ilmu dan pengalaman adalah sebuah langkah yang tak merawat hubungan baik antara anak dan orang tua.

Investasi kebahagian tidak dengan meletakan anak pada posisi politik tanpa adanya kapasitas dan kapabilitas. Hal ini justru akan memberangus kebahagian dari anak dan keluarga dalam jangka panjang.

Kekuasaan itu adalah candu. Setelah 10 tahun berkuasa, Jokowi masih tak merasa cukup. Ia kini menghadirkan darah dagingnya demi kekuasaan dan kebahagian, tapi ini hanya ilusi menurut kacamata penelitian Robert.

Dalam pernyataan terbarunya, Jokowi membuat resah, bahwa presiden boleh memihak dalam kampanye Pemilu 2024. Hal ini tentunya melanggar sumpah seorang presiden.

Banyak orang tua memikirkan masa depan anak hanya dengan kacamata materi bukan kesehatan mental secara psikologi. Kemampuan Gibran untuk mengelola konflik dan komunikasi politik sama sekali tak tampak.

Bangsa Indonesia tidak pernah kekurangan orang-orang pandai dalam berbagai bidang, bahkan jumlahnya cenderung naik disertai kreativitas tanpa batas. Tapi negara ini kehilangan etika. Orang pintar banyak di negeri ini, tapi orang pintar yang beretika sangat langka diantara 270 juta manusia Indonesia.

Rasa Keadilan

Waktu terus berdetak, membuat jarak antara kita dan kertas suara semakin dekat. Pemilu merupakan kesempatan untuk menentukan nasib kita bersama.

Ini bukan tentang agama, ras, dan juga bukan tentang sekelompok manusia. Tapi ini tentang rasa keadilan yang tak hadir di dalam hati sanubari kita. Pemilu itu tentang harapan.

Sesulit apapun keadaan dan kenyataan, kita tidak boleh kehilangan harapan. Harapanlah yang membuat manusia mampu untuk terus bertahan dalam segala kondisi dan situasi. Simpan, jaga, dan perjuangkan harapan itu, sekalipun logika berkata: “saya tak punya kekuatan untuk merubah keadaan”.

Coba bayangkan, apa jadinya jika 100 juta orang merubah logikanya menjadi “saya punya kekuatan untuk merubah keadaan” lalu mereka berkumpul bersama? Mereka akan menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu merubah yang tak mungkin menjadi mungkin!.

Semangat 100 juta orang itu bisa mempengaruhi 100 juta orang lainnya, jika setiap individu yakin bahwa harapan itu akan menjadi kenyataan.

Nabi Muhammad yang menyampaikan Islam seorang diri di kalangan masyarakat Makkah pada saat itu sangatlah tidak mungkin secara logika. Ia hanya seorang manusia biasa tanpa kewenangan. Tapi ia menggenggam dan memperjuangkan harapan baiknya untuk bisa merubah perilaku-perilaku kotor pada masyarakat saat itu. Ia terus bertahan sekalipun diancam dan dikucilkan.

Nyalakan terus harapan itu dan jangan biarkan ia padam. Jika harapan itu hilang, maka kita sudah kalah sebelum berperang. Dan, hanya harapanlah yang membedakan antara manusia yang hidup dan manusia yang sengaja ingin mengakhiri hidup.

Indonesia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan. Jika calon pemimpin tak memiliki moral dan pengetahuan, sudah barang tentu negara akan mengalami kemunduran.

Pilihlah pemimpin yang mampu mengarahkan kompas kehidupan negara yang beretika dan mengembalikan rasa keadilan. Tuhan tak akan merubah nasib sebuah masyarakat, jika manusianya tidak berusaha sekuat tenaga untuk merubah keadaannya.

Mungkinkah Tuhan memperpanjang tangannya dengan cara-cara yang curang? Atau, mungkin manusia yang sedang bermain curang agar tampak seperti tangan Tuhan?

Tapi yang jelas, sebagai pemilih, tangan andalah yang akan membawa perubahan. Bukan tangan Gibran!

*) Ihshan Gumilar, penulis adalah Founder of Indonesian Postgraduate Community – New Zealand

Pos terkait