NASIONAL.NEWS — Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sorotan publik setelah sidang uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025), Hakim Konstitusi Saldi Isra menyoroti adanya situasi yang dinilainya janggal.
“Ada anomali yang terjadi,” ujar Saldi.
Ia menekankan, kondisi ini tidak lazim karena biasanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk undang-undang enggan jika produk hukumnya digugat di MK.
“Ini memang agak jarang-jarang suasananya terjadi ada pemberi keterangan dari DPR yang setuju dengan permohonan pemohon,” ucapnya.
Saldi bahkan menyindir kuasa hukum Hasto yang tetap mengajukan permohonan ke MK meski DPR menunjukkan sikap sejalan dengan substansi gugatan.
“Sebetulnya kalau kuasa hukum pemohon cerdas, sudah saatnya ini datang ke DPR, biar DPR saja yang mengubahnya, tidak perlu melalui Mahkamah Konstitusi, biar komprehensif sekalian,” kata dia.
Pernyataan Saldi muncul setelah DPR, melalui keterangan lisan yang disampaikan dalam sidang, menyatakan setuju dengan keberatan Hasto. Hal ini dianggap tidak biasa karena justru membuka peluang revisi undang-undang tanpa harus melalui jalur yudisial.
Saldi meminta agar keterangan tertulis DPR segera diberikan kepada MK untuk menjadi bahan pembanding dengan keterangan sebelumnya atas pasal yang sama.
“Supaya keterangannya segera dikirim karena kami akan baca, paling tidak mau membandingkan keterangan DPR yang lalu dengan pasal yang sama,” imbuhnya.
Obstruction of Justice
Dalam sidang tersebut, DPR diwakili oleh anggota Komisi III, I Wayan Sudirta, yang juga merupakan kader PDI Perjuangan.
Sudirta menilai permohonan Hasto terkait pengurangan ancaman pidana maksimal perintangan penyidikan patut dikabulkan.
“Ancaman 12 tahun terlalu tinggi. Lebih tinggi dari pidana pokok seperti kasus suap,” tegas Sudirta.
Gugatan yang diajukan Hasto berfokus pada Pasal 21 UU Tipikor yang mengatur mengenai perintangan penyidikan atau obstruction of justice.
Ancaman pidana dalam pasal itu dinilai tidak sebanding karena menetapkan hukuman minimal tiga tahun dan maksimal 12 tahun, sementara tindak pidana pokok seperti suap hanya diancam maksimal lima tahun.
Alasan Permohonan
Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menjelaskan alasan permohonan tersebut.
“Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan obstruction of justice ini proporsional. Hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” katanya.
Maqdir memberi contoh, dalam kasus suap, pemberi suap diancam maksimal lima tahun penjara. Namun jika ada pihak yang merintangi penyidikan, ancaman hukumannya bisa mencapai 12 tahun.
“Nah ini yang menurut kami tidak proporsional,” tutur Maqdir.
Sidang ini menjadi menarik karena mempertemukan dua jalur koreksi undang-undang, yakni jalur legislatif melalui DPR dan jalur yudisial melalui MK.
Situasi ini memperlihatkan bagaimana dinamika hukum di Indonesia dapat menghadirkan kejutan ketika kepentingan politik, regulasi, dan tafsir konstitusi bertemu dalam satu ruang.