Hidup Bahagia dengan Berbekal untuk Kehidupan Akhirat

0
1306

BILA kita hendak pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari ke pasar terdekat, seperti apakah persiapan yang kita buat? Perlukah membawa baju ganti satu koper penuh? Haruskah mengucapkan salam perpisahan serta mohon doa keselamatan dari segenap kerabat dan kawan? Berapa ratus jutakah uang yang perlu kita sediakan? Apakah kita memerlukan peta dan kompas agar tidak tersesat? Sejak berapa lama sebelumnya kita menabung, mempersiapkan diri, dan bahkan memesan tiket kendaraan?

Ya, kita tahu. Semua itu tidak diperlukan. Bahkan, memikirkan persiapan sedetail itu adalah gagasan paranoid dan kurang waras. Sebab, jarak yang kita tempuh dekat, waktu yang kita habiskan di sana sekejap, dan keperluan kita pun sangat sederhana. Bisa jadi, kita hanya berpakaian asal-asalan dan membawa uang sekedarnya. Naik kendaraan apa saja juga tidak masalah, bahkan jalan kaki pun oke. Bukankah demikian?

Sekarang, mari beralih kepada perjalanan kita yang sesungguhnya, yakni perjalanan hidup sebagai hamba Allah. Kita tahu, Allah menciptakan manusia untuk dua kehidupan: dunia dan akhirat. Kita juga tahu, bahwa akhirat itu lebih baik dan kekal, sebagaimana diceritakan oleh banyak ayat Al-Qur’an. Sebaliknya, dunia ini tidak abadi dan pasti ditinggalkan. Bila kita mau berpikir secara adil dan obyektif, manakah yang seharusnya dipersiapkan lebih terperinci?

Sepanjang-panjangnya usia manusia di dunia ini, suatu saat nanti pasti berujung pada kematian. Di zaman para Nabi terdahulu, walaupun manusia diberi umur sampai ratusan tahun, ternyata sekarang tidak tersisa seorang pun diantara mereka. Terlebih-lebih lagi dewasa ini, ketika menemukan orang yang hidup diatas 100 tahun sudah menjadi kejadian langka.

Dunia adalah perjalanan yang sangat singkat dan cepat berlalu. Sepertinya, belum hilang dari ingatan masa-masa dimana kita bermain sebagai bocah kecil, berlarian mengejar layang-layang putus atau bermain petak umpet. Namun, sekarang kita bahkan telah menjadi orangtua yang mengasuh anak-anak pula. Sepertinya, belum lama berselang kita menimang anak-anak itu dan mengganti popoknya. Sekarang, tiba-tiba saja mereka telah memberi kita cucu yang lucu-lucu. Sedemikian cepatnya semua ini bergerak, sehingga tanpa terasa uban dan kerutan sudah menyebar rata.

Bila selalu demikian kenyataan hidup di dunia, mengapa kita justru jauh lebih sibuk menyiapkan bekalnya dibanding perjalanan menuju akhirat yang abadi? Bertahun-tahun kita habiskan usia, energi, sumberdaya, kreatifitas, produktifitas, untuk menyongsong kesejahteraan duniawi. Sejak kecil kita sangat fokus menyiapkan karir-karir duniawi. Bahkan, anak-anak kita pun telah belajar melafalkan aneka rupa cita-cita duniawi sejak mereka belajar bicara.

Banyak orang bersedia “menyumbang” ratusan juta agar bisa masuk fakultas tertentu atau untuk menjadi pegawai negeri, demi menyongsong kesejahteraan duniawinya. Tetapi, bagaimana dengan akhirat? Sesibuk apa kita mempersiapkan bekalnya? Sebanyak apa yang telah kita “belanjakan” untuknya? Sejak kapan kita telah merencanakannya?

Misalnya, berapakah ayat Al-Qur’an yang sudah kita pelajari, sebagai petunjuk jalan keselamatan, pengobat hati yang gelisah, dan peneguh jiwa menghadapi guncangan hidup? Seberapa waktu yang kita alokasikan untuk mendengar hadits-hadits Rasulullah, agar hidup ini lurus dan terarah dengan benar? Apakah shalat dan puasa kita terpelihara dengan baik? Bagaimana dengan nikmat-nikmat Allah lainnya: harta, kekuatan fisik, waktu, kesehatan, dsb; kemana kita habiskan?

Sungguh, Allah dan Rasul-Nya banyak menegur kita dengan sangat keras atas kelalaian-kelalaian ini. Dengarkanlah apa yang difirmankan-Nya dalam surah an-Najm: 29-31, “Maka berpalinglah engkau (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah batas terjauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. Hanya milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).”

Demikian juga firman-Nya dalam surah al-A’la: 14-17, “Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia mengingat nama Tuhannya, lalu dia mengerjakan shalat. Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan duniawi. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”

Rasulullah pun bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras-kasar-angkuh tabiatnya, gemar mengumpulkan harta namun pelit, suka berteriak-teriak di pasar-pasar, seperti bangkai di malam hari dan seperti keledai di siang hari, sangat mengerti urusan dunia tetapi tidak tahu-menahu urusan akhirat.” (Riwayat Ibnu Hibban dan al-Baihaqi. Sanad-nya shahih ‘ala syarthi muslim).

Beliau bahkan tidak khawatir jika kita menjadi fakir. Beliau justru cemas jika dunia ini dihamparkan seluas-luasnya bagi kita. Beliau bersabda, “Bergembiralah, dan harapkanlah apa saja yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kemelaratan yang aku khawatirkan atas kalian. Namun, aku khawatir jika dunia ini dihamparkan seluas-luasnya untuk kalian, sebagaimana dulu pernah dihamparkan kepada umat-umat sebelum kalian. Lalu, kalian berlomba-lomba memperebutkannya sebagaimana mereka dulu memperebutkannya, sehingga dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia dulu membinasakan mereka.” (Riwayat Ibnu Majah. Hadits shahih).

Kekhawatiran beliau terbukti di zaman ini. Mengapa ada korupsi, suap-menyuap, dan penyelewengan anggaran? Mengapa para penipu dan maling tega memakan harta orang lain secara batil? Mengapa ada kelicikan dalam pembagian warisan dan pengelolaan harta anak yatim? Dari mana benih money politics dan black campaign dalam Pemilu dan Pilkada? Ayat-ayat dan hadits diatas telah menunjukkannya: “kerakusan pada dunia dan kecintaan yang berlebihan terhadapnya”.

Inilah yang disebut ghurur (ketertipuan). Karena ghurur-lah manusia salah memilih. Maka, sebaiknya kita lebih berhati-hati dan bijak dalam menentukan prioritas. Yahya bin Mu’adz ar-Razi (w. 258 H) berkata, “Seandainya dunia adalah bijih emas yang fana sedangkan akhirat adalah keramik yang kekal, maka sudah sepantasnya bagi orang yang berakal untuk lebih memilih keramik yang kekal dibanding bijih emas yang fana. Bagaimana jika kenyataannya dunia adalah keramik yang fana sedangkan akhirat adalah bijih emas yang kekal?” (Dikutip dari: Adabul ‘Ulama’ wal Muta’allimin).

Maka, sangat wajar jika Rasulullah pernah mengajari ‘Ali bin Abi Thalib sebuah doa, “Ya Allah, berilah aku petunjuk dan tepatkanlah aku (dalam memilih).” (Riwayat Muslim). Semoga kita pun diberi-Nya hidayah dan ketepatan, dalam menyiapkan bekal perjalanan ini. Amin. Wallahu a’lam.

KH. M. Alimin Mukhtar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini