KEHIDUPAN dunia seringkali menampilkan lakon-lakon yang ganjil. Banyak orang durjana serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya, namun bergelimang kenikmatan dan kenyamanan hidup. Semakin melimpah karunia Allah yang mereka nikmati, semakin kufur pula hati mereka.
Di sisi lain, kita justru menyaksikan hamba-hamba Allah yang penuh pengabdian, tulus, dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Islam, ternyata sengsara, tersingkir, dan menjadi bulan-bulanan musuh-Nya. Maka, sebagian orang pun bertanya-tanya, “Di mana keadilan Allah?”
Untuk memahami fenomena ini, mari mengikuti bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya: “Jika kalian melihat seseorang yang oleh Allah diberi semua yang ia inginkan, namun ia tetap berada diatas kemaksiatannya, maka ketahuilah bahwa itu merupakan Istidraj”.
Beliau kemudian membaca firman Allah: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itulah mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44). (Riwayat Ahmad, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman; dari ‘Uqbah bin ‘Amir; sanad-nya hasan).
Begitulah semestinya kita mengukur dan menilai keadilan Allah dalam kasus-kasus serupa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kita untuk melihat hakikatnya, bukan tampilan lahiriahnya.
Sebagai muslim, mestinya kita tidak dikecoh oleh ukuran-ukuran materialistis. Jika kenikmatan, kesejahteraan, dan kemegahan yang melingkupi seseorang tidak disertai keimanan dan ketaatan kepada Allah, maka itu pasti Istidraj; yakni dilapangkannya pemberian seluas-luasnya sampai seseorang lalai, untuk kemudian dijatuhi siksaan secara mendadak dan sekaligus, sehingga tidak ada kesempatan untuk bertaubat atau memperbaiki diri. Ini nikmat membawa sengsara, seperti hewan ternak yang digemukkan dengan pakan terbaik, untuk kemudian disembelih!
Al-Qur’an pernah mengilustrasikan persoalan serupa dalam surah al-Qashash: 79-82, ketika menceritakan Qarun. Saat itu, Bani Israil menyangka bahwa kekayaan dan kemegahan yang dinikmati Qarun adalah bukti keridhaan Allah kepadanya. Bahkan, mereka berangan-angan bisa mencapainya pula.
Al-Qur’an mengisahkannya, sebagai berikut:
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Semoga saja kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sungguh ia benar-benar mendapat keberuntungan yang besar.” (Namun), orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, sedangkan pahala itu tidak akan diberikan kecuali kepada orang-orang yang sabar.” Lalu, Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada satu golongan pun yang menolongnya menghadapi adzab Allah, dan ia pun tidak termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya sendiri). Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu, berkata: “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya. Kalau saja Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, pasti Dia pun telah membenamkan kita. Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah).”
Secara tersirat dan halus, kisah ini sebenarnya sedang mengkritik kesalahan berpikir sebagian besar manusia, entah di masa lalu maupun sekarang. Banyak orang menyangka bahwa penanda keridhaan Allah adalah kehidupan material yang makmur, sehingga hal itu dipasang sebagai kriteria nomer wahid untuk menilai sukses atau tidaknya seseorang.
Ketika mereka mengatakan bahwa “si fulan sudah sukses”, yang dimaksudkannya adalah sudah kaya, punya rumah megah, mobil mengkilat, istri cantik, jabatan tinggi, sering berlibur ke luar negeri, mengenakan pakaian berkelas, makan di restoran mewah, memegang serenteng kartu kredit, punya rekening di banyak bank, dan sejenisnya.
Bukankah kesan seperti ini sering berseliweran di sekitar kita, bahkan dalam pikiran kita sendiri?
Sungguh malang! Padahal, Allah telah membeber kekeliruan seperti ini dalam surah al-Fajr: 15-20:
“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu ia dimuliakan dan diberi kesenangan, maka ia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim. Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. Dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang haram). Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”
Di sini, Allah menegur orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan. Keduanya hanyalah ujian. Di sisi lain, ayat di atas sekaligus mengkritik kebiasaan sebagian besar kaum kaya yang egois, rakus, dan materialis.
Tidak perduli kepada anak yatim, enggan mengurus kaum miskin, suka memakan harta orang lain dengan cara batil, dan sangat cinta dunia hanyalah sampel kecil, karena sebenarnya ia mewakili beragam keburukan yang lain.
Tidakkah Anda terheran-heran mengapa kasus-kasus korupsi di negeri ini justru dilakukan oleh oknum-oknum yang jumlah kekayaannya sangat-amat melimpah? Mengapa mereka masih bernafsu merampok harta yang bukan haknya, padahal pundi-pundi mereka sudah penuh bahkan meluber? Inilah egoisme, kerakusan, dan sifat materialistik yang dikatakan oleh Al-Qur’an.
Lalu, apakah kriteria kesuksesan itu? Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat yang ditutup dengan pernyataan: “mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Tidak kurang dari 12 ayat, seperti al-Baqarah: 5, Ali ‘Imran: 104, al-A’raf: 8 dan 157, at-Taubah: 88, an-Nur: 51, dan masih banyak lagi.
Jika kita membaca ayat-ayat ini, juga ayat sebelum (sabiq) dan sesudahnya (lahiq), kita akan mendapati bahwa orang sukses adalah mereka yang beriman, berinfak, berdakwah, beramar ma’ruf nahi munkar, berat timbangan amal shalihnya di akhirat, mengikuti dan meneladani Rasulullah dan mengamalkan Al-Qur’an.
Profil orang beruntung bukanlah Qarun yang kaya raya, Fir’aun yang berkuasa mutlak, atau kaum ‘Ad dan Tsamud yang gagah-perkasa dan memiliki kekuatan militer hebat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri merasa kasihan kepada budak-budak dunia itu. Beliau bersabda:
“Malang sekali budak dinar, budak dirham, dan budak pakaian mewah itu. Jika dia mendapatkannya, dia ridha (kepada Allah), namun jika tidak maka dia pun marah (kepada-Nya). Celaka dan terjungkirlah dia! Jika dia tertusuk sebatang duri saja, tidak akan ada yang bisa menolongnya lagi (yakni, dia langsung marah dan putus asa).” (Riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah).
Jadi, mari cermat dan berhati-hati menilai. Jangan salah sangka dan keliru berpikir. Tanpa iman dan amal shalih, segala kemegahan yang dinikmati seseorang adalah pertanda kemurkaan Allah, bukan sebaliknya. Itu Istidraj, bukan ni’mat. Kita tidak tahu bencana mendadak seperti apa yang telah disiapkan-Nya setelah itu. Na’udzu billah. Wallahu a’lam.
KH. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Ar Rohmah Hidayatullah Malang