Kecakapan Literasi dan Ketahanan Demokrasi

NN Newsroom

Selasa, 2 September 2025

Foto ilustrasi: Hasman Dwipangga/ Nasional.news

Spektrum bahasan

PEMERINTAH perlu menyadari bahwa sebagian masyarakat kini mulai menunjukkan kinerja kecerdasan membaca yang lebih baik. Hal ini seperti nampak pada fenomena demonstran hari hari ini yang secara tegas menolak tindakan destruktif.

Bukan karena diawasi, tetapi lantaran menyadari efek jangka panjang dari tindakan anarkis terhadap legitimasi gerakan. Ini adalah bukti konkret bahwa kecakapan membaca kritis menyelamatkan masyarakat dari disinformasi dan tindakan tidak bijak.

Cerdas membaca bukan sekadar literal, ia mencakup kemampuan mengenali bias, berpikir reflektif, serta membedakan fakta dari opini. Semakin tingginya layer informasi di era digital menuntut masyarakat lebih tajam dalam memilah.

Fenomena “membongkar” penyusup dalam demonstrasi terkini menjadi wujud bahwa masyarakat bisa berpikir sebelum bereaksi, sebuah modal besar dalam menjaga ketertiban tanpa menghentikan penyampaian pendapat.

Tantangan ini tidak hanya dialami Indonesia. Di Denmark, menurut data PISA 2022, sekitar 19% siswa berusia 15 tahun berada di bawah Level 2 dalam baca, menandakan ketidakmampuan memahami teks yang bersifat moderat sekalipun.

Sebaliknya, sekitar 81% siswa Denmark mencapai minimal Level 2, sedikit lebih tinggi ketimbang rata-rata OECD, yakni 74%. Artinya, potensi literasi rendah ada meski akses dan sistem pendidikan tergolong maju.

Di Indonesia, data PISA 2018 menunjukkan skor rata-rata membaca sebesar 371, turun dari sebelumnya sekitar 392–397, dan drastis di bawah rata-rata OECD (487). Ranking menempatkan Indonesia di antara posisi terendah, mempertegas betapa mendesaknya kondisi literasi saat ini.

Denmark merespons persoalan ini dengan kebijakan konkret, yaitu menghapus pajak penjualan buku sebesar 25%, berharap akses buku lebih murah dan meningkatkan minat baca remaja. Langkah drastis, namun memiliki tujuan strategis: menumbuhkan kultur literasi sejak dini.

Sementara itu, Britania Raya telah lebih dulu menerapkan pajak nol persen (zero VAT) pada buku, menjadikannya barang lebih mudah diakses masyarakat luas.

Indonesia harus segera mempercepat langkah. Mengingat kemampuan membaca masih tertinggal jauh dari Singapura, Vietnam, maupun Brunei Darussalam, sebuah gagasan “Beli Buku Murah” (BBM) bisa menjadi gerakan strategis nasional.

Jika pemerintah memfasilitasi buku legal (bukan bajakan), harga menjadi lebih kompetitif dan literasi masyarakat bisa meningkat.

Gerakan BBM dapat melengkapi program-program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan menanamkan kecerdasan bukan hanya fisik, tetapi juga kognitif dan moral. Sebab, tubuh sehat tanpa jiwa dan akal cerdas tak ubahnya kekuatan kosong, rentan disusupi propaganda, ditunggangi kekuatan destruktif.

Membangun Pertahanan Pertama

Presiden Prabowo Subianto, bila menyetujui inisiatif BBM, sejatinya membangun pertahanan pertama terhadap manipulasi massa.

Rakyat yang cerdas membaca tidak mudah terpengaruh narasi yang disusupi kepentingan, baik yang politik, ideologis, maupun komersial.

Di masa di mana legitimasi gerakan kerap dituntut secara emosional sekaligus visual via media sosial, kemampuan memilah narasi adalah benteng utama.

Cerdas membaca bukan lagi sekadar kemampuan teknis, melainkan kebutuhan strategis bangsa. Kesadaran ini harus dilihat pemerintah sebagai sinyal bahwa rakyat yang terlatih membaca dengan cerdas akan lebih sulit ditipu oleh narasi manipulatif yang seringkali ditumpangi kepentingan politik.

Di sisi lain, fakta ini menggambarkan bahwa literasi adalah tantangan universal, yang hanya dapat diatasi melalui kebijakan konkret. Denmark memilih menghapus pajak buku, sementara Inggris bahkan lebih progresif dengan menerapkan pajak nol persen sejak lama. Indonesia tidak bisa berlama-lama dalam ketertinggalan.

Jika bangsa lain berani mengambil langkah tegas demi meningkatkan kecintaan membaca, Indonesia pun harus berani. Tentu yang kita harapkan dari ini bukan hanya simbolis, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjadikan akses literasi lebih luas dan lebih adil.

Kombinasi antara program gizi yang memperkuat tubuh dan gerakan literasi yang mencerahkan akal akan melahirkan generasi yang bukan hanya sehat, tetapi juga kritis. Tubuh yang kuat tanpa kecerdasan budi hanya akan melahirkan kekosongan moral, rentan digunakan sebagai alat destruksi.

Sebaliknya, kecerdasan membaca akan membekali masyarakat untuk menjaga demokrasi tetap sehat dan tidak mudah diguncang provokasi.

Masyarakat yang cerdas membaca adalah masyarakat yang tangguh, solider, kritis, dan berdaya menghadapi perubahan. Di sanalah letak investasi paling strategis bagi bangsa.

Indonesia membutuhkan rakyat yang kuat bukan hanya fisiknya, tetapi juga daya bacanya, agar demokrasi yang kita miliki tidak terjerumus menjadi arena manipulasi, melainkan tetap berdiri sebagai ruang rasional untuk kebenaran.

EDITORIAL NASIONAL.NEWS

TERKAIT LAINNYA