Kurir Laut Lintas Negara Selundupkan Sabu 93 Kg Masuk Indonesia, Digaji Lumayan Gede

SEBUAH operasi kepolisian di Kepulauan Riau mengungkap kasus penyelundupan narkotika yang mencengangkan. Tiga warga negara Indonesia, yang berprofesi sebagai anak buah kapal (ABK), ditangkap karena membawa 93,3 kilogram sabu dari Malaysia menuju Jakarta.

drug

Mereka dijanjikan bayaran fantastis sebesar Rp300 juta jika berhasil mengantarkan barang haram itu ke ibu kota. Namun, impian meraup untung besar itu kandas di tangan aparat yang sigap menggagalkan aksi mereka.

Kapolda Kepulauan Riau, Irjen Pol Asep Safrudin, mengungkapkan bahwa ketiga pelaku ini bukan otak di balik operasi, melainkan hanya kurir yang bertugas mengangkut sabu. “Kalau barang itu sampai Jakarta, mereka akan dibayar Rp300 juta. Dibagi tiga orang, berarti masing-masing Rp100 juta,” ujar Asep dalam konferensi pers pada Rabu (26/3/2025).

Angka ini memang menggiurkan, terutama bagi pekerja laut yang biasanya hidup dari penghasilan pas-pasan. Namun, di balik iming-iming itu, risiko yang mereka hadapi jauh lebih besar: hukuman penjara panjang atau bahkan pidana mati.

Menurut keterangan Direktur Reserse Narkoba Polda Kepri, Kombes Pol Anggoro Wicaksono, sabu seberat 93,3 kilogram itu dijemput langsung dari Malaysia menggunakan kapal kayu. Transaksi dilakukan di tengah laut, tepatnya di perairan Lagoi, Bintan, dengan metode ship-to-ship—cara yang sering digunakan jaringan narkotika internasional untuk menghindari pengawasan di darat.

Setelah barang diterima, ketiga ABK ini melanjutkan perjalanan menuju Jakarta, tempat pemesan misterius menanti. Sayangnya, identitas pemesan masih menjadi teka-teki yang kini tengah didalami polisi.

Kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Perairan Indonesia, dengan garis pantai yang panjang dan ribuan pulau, kerap menjadi jalur favorit penyelundup narkoba. Malaysia, sebagai salah satu negara tetangga, sering disebut-sebut sebagai pintu masuk barang haram ke Indonesia.

Harga sabu yang jauh lebih mahal di Indonesia—bisa mencapai Rp1,5 juta per gram dibandingkan Rp20 ribu di China, misalnya—membuat pasar dalam negeri sangat menggiurkan bagi sindikat internasional. Ketimpangan harga ini menjadi salah satu pemicu maraknya penyelundupan lintas negara.

Dari sisi pelaku, motif ekonomi tampaknya menjadi alasan utama. Bayaran Rp100 juta per orang untuk sekali pengiriman adalah jumlah yang sulit ditolak, terutama bagi mereka yang hidup di bawah tekanan kebutuhan sehari-hari. Namun, pertanyaannya, apakah mereka benar-benar memahami konsekuensi dari tindakan ini?

Hukum di Indonesia tidak main-main dalam menangani kasus narkotika. Pasal 114 dan 112 Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 mengancam pelaku dengan hukuman maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup, ditambah denda miliaran rupiah. Rp100 juta mungkin terdengar besar, tapi itu tak sebanding dengan nyawa atau kebebasan yang hilang.

Polisi kini tengah memburu jaringan di balik operasi ini. Anggoro menegaskan bahwa kasus ini hanyalah puncak gunung es dari sindikat yang lebih besar. “Kami akan kembangkan lebih lanjut untuk membongkar jaringannya,” katanya. Langkah ini penting, karena menangkap kurir saja tidak akan menghentikan peredaran narkoba. Otak utama yang mengendalikan operasi dari belakang layar harus dibekuk untuk memutus mata rantai kejahatan ini.

Kasus ini juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam memerangi narkotika. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa peredaran narkoba terus meningkat setiap tahun. Pada 2024 saja, BNN membongkar 14 kasus besar dengan total barang bukti mencapai 1,2 ton berbagai jenis narkotika.

Angka ini belum termasuk kasus-kasus kecil yang tak terdeteksi atau lolos dari pengawasan. Faktor geografis, lemahnya pengawasan di perbatasan, hingga korupsi di kalangan aparat penegak hukum menjadi lubang besar yang dimanfaatkan sindikat.

Kita perlu melihat masalah ini dari dua sisi. Di satu sisi, penegakan hukum yang tegas memang diperlukan untuk memberikan efek jera. Hukuman berat bagi pelaku, terutama bandar besar, bisa menjadi sinyal bahwa Indonesia tidak mentolerir kejahatan narkotika.

Namun, di sisi lain, pendekatan represif saja tidak cukup. Banyak kurir seperti ketiga ABK ini adalah korban dari sistem ekonomi yang timpang. Mereka tergiur karena minimnya peluang kerja dan rendahnya pendidikan, yang membuat mereka rentan direkrut jaringan kriminal.

Pemerintah perlu memperkuat strategi pencegahan, seperti edukasi masyarakat, peningkatan kesejahteraan di wilayah rawan, dan pengawasan ketat di perbatasan. Tanpa langkah ini, kasus serupa akan terus berulang, dan jumlah 93,3 kilogram sabu yang disita hari ini hanyalah setetes air di lautan peredaran narkoba yang tak kunjung surut. Diplomasi dengan negara tetangga seperti Malaysia juga harus ditingkatkan untuk memutus jalur pasok dari hulu.

Pada akhirnya, perang melawan narkotika adalah tanggung jawab bersama. Kita tidak bisa hanya menyalahkan pelaku kecil atau aparat yang kewalahan. Ini adalah cerminan dari masalah sosial yang lebih dalam—ketimpangan, kemiskinan, dan lemahnya sistem—yang harus diatasi secara bijaksana. Tanpa solusi holistik, Indonesia akan terus bergulat dengan momok ini, tahun demi tahun, tanpa akhir yang jelas di depan mata.[]

Pos terkait