Letjen Novi Helmy Kembali Aktif, Setara Institute Sampaikan Tiga Catatan

NN Newsroom

Sabtu, 5 Juli 2025

Ilustrasi tentara (Foto: Dok. net)

Ringkasan cakupan

NASIONAL.NEWS — Setara Institute menilai regresi reformasi TNI kian nyata selama sembilan bulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Menurut Setara, salah satu indikasi terbaru dari kemunduran tersebut adalah pengembalian status militer aktif Letjen TNI Novi Helmy Prasetya setelah menjabat sebagai Direktur Utama Perum Bulog, sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor: SK-30/MBU/02/2025 tertanggal 7 Februari 2025.

Keputusan ini menuai kritik karena dinilai mencederai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil, seperti Dirut Bulog, secara eksplisit tidak diperkenankan.

Jabatan Sipil

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie, menyebut dalam UU TNI Pasal 47 ayat (2), jabatan sipil yang boleh diisi prajurit aktif telah ditentukan secara terbatas dan Dirut Bulog tidak termasuk di dalamnya.

“Melalui pengembalian status militer aktif ini, ketidakpatuhan terhadap UU TNI semakin tampak. Bukan hanya melalui praktik penempatan di jabatan Dirut Bulog, tetapi juga dapat menjadi preseden buruk dalam tata kelola institusi dan memicu kebingungan publik,” katanya dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (5/7/2025).

Menurut Ikhsan, kebingungan ini muncul karena sebelumnya TNI menyatakan bahwa Letjen Novi Helmy sedang dalam proses pengunduran diri dari dinas militer untuk menempati posisi Dirut Bulog. Namun, ketika pengembalian status militer aktifnya mencuat, TNI justru menyatakan penempatan tersebut sebagai bentuk penugasan resmi dari institusi.

“Penjelasan Kapuspen TNI bahwa penempatan Letjen Novi Helmy di Bulog merupakan bentuk penugasan dari institusi TNI, serta merupakan bagian dari dukungan TNI terhadap kebijakan pemerintah,” demikian disampaikan Setara Institute mengutip pemberitaan berbagai media massa.

Tiga Catatan

Setara Institute menyampaikan tiga catatan atas polemik ini. Pertama, pengembalian status Letjen Novi Helmy mencerminkan regresi ganda reformasi TNI. Selain pelanggaran terhadap Pasal 47 ayat (2) UU TNI, pengembalian status pasca penempatan sipil juga mengabaikan amanat Pasal 47 ayat (1) dan penjelasan Pasal 55 huruf c tentang ketentuan pensiun.

“Pengembalian status militer aktif pasca pensiun ini juga dapat menjadi preseden yang mengganggu regenerasi di internal TNI ke depannya jika dijalankan tanpa ketentuan yang jelas,” lanjutnya.

Kedua, SETARA menilai klaim penugasan oleh TNI bertentangan dengan semangat UU TNI, yang mensyaratkan pensiun bagi prajurit aktif jika hendak menempati jabatan sipil. Dengan status pensiun, maka pejabat tersebut tidak lagi berada dalam rantai komando militer dan menjadi bagian dari otoritas sipil.

Ketiga, alasan kebutuhan organisasi dan pembinaan personel untuk mengembalikan status Letjen Novi Helmy sebagai perwira aktif juga patut dievaluasi.

Hal ini menurut SETARA Institute perlu ditinjau ulang agar tidak mengganggu postur organisasi TNI, sebagaimana diamanatkan Pasal 11 UU TNI yang menyatakan bahwa postur TNI harus disiapkan untuk menghadapi ancaman militer dan bersenjata, bukan untuk menduduki jabatan sipil.

“Evaluasi tersebut diperlukan juga untuk memastikan kebutuhan postur organisasi TNI tidak terganggu, serta preseden ini tidak berulang,” katanya.

Dalam konteks ini, SETARA Institute menyerukan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap praktik dan kebijakan regresif di tubuh TNI.

“Sebab dukungan TNI terhadap kebijakan pemerintah, semestinya tetap dilakukan dalam kerangka reformasi TNI dan UU TNI,” imbuhnya menandaskan.

TERKAIT LAINNYA