DALAM setiap kata “lowbat”, terdapat cerita kehidupan yang berbeda. Bagi kebanyakan dari kita, itu mungkin hanya mengacu pada perangkat listrik yang hampir kehabisan tenaga.
Namun, bagi para supir rental di jalanan Sulawesi Tengah, itu adalah kisah perjuangan dan kebersamaan di balik malam yang gelap.
Saat senja melabuhkan tirainya, para supir rental mulai bersiap. Dari jam 6 sore hingga jam 7 atau 8 pagi dengan jarak tempuh kurang lebih 400 km, mereka menjelajahi jalanan dengan penuh semangat.
Setelah shalat magrib, mereka mulai menjemput penumpang yang telah memesan tempat. Tugas ini memakan waktu, namun dengan penuh tekad, mereka menjalankannya. Kira-kira butuh waktu satu sampai dua jam untuk menyelesaikan jemputan, baik penumpang dalam kota maupun yang ada di luar (pedesaan).
Saat selesai penjemputan, para supir rental akan berkumpul di sebuah kios atau warung yang memang sudah ditentukan sebagai titik kumpul bersama supir lainnya sebelum akhirnya memulai iring iringan perjalanan.
Mobil rental yang berjejer rapi di bahu jalan bisa mencapai puluhan. Para supir dan penumpang akan mempersiapkan bekal selama diperjalan, seperti minuman, cemilan, dan permen yang mudah diraih saat dalam perjalanan.
Jelas mengemudi di malam hari bukanlah perkara mudah. Jalanan menanjak dan berkelok, tak jarang penuh dengan rintangan yang tidak semuanya mulus alias berlubang. Namun, para supir rental tak gentar.
Kondisi ini yang menuntut para pengemudi untuk lebih fokus dalam mengendarai mobilnya, apalagi saat dalam kecepatan tinggi. Ditambah lagi dengan rasa kantuk yang akan menghampiri setiap supir rental.
Dengan fokus yang tak tergoyahkan, mereka menaklukkan setiap tikungan dan tanjakan. Namun, rasa ngantuk tak bisa dihindari.
Solidaritas di Tengah Badai
Banyak cara yang dipersiapkan para supir agar terhindar dari rasa kantuk. Mulai dari koleksi lagu lagu cadas lengkap dengan speaker dengan suara tinggi, juga dengan pariasi bunyi klakson dan pencahayaan lampu kendaraan. Ditambah dengan beberapa bungkus rokok sebagai “obat” pamungkas sang supir.
Meski dengan berbagai persiapan, rasa ngantuk tetap saja menghampiri para supir, sehingga membuat daya tahan menurun (lowbat).
Ketika rasa ngantuk melanda, solidaritaslah yang menguatkan mereka. Dalam kegelapan, mereka saling menjaga, siap sedia membantu sesama.
Berhenti sejenak, berbincang santai, atau memperdengarkan klakson berulang kali, itulah cara mereka mengusir rasa ngantuk. Dan dengan itu, perjalanan mereka kembali berlanjut dengan semangat yang membara.
Atau, dengan mengagetkan sang supir dengan suara klakson berulang kali. Cara ini cukup ampuh mengusir rasa ngantuk sehingga sang supir pun bisa melanjutkan perjalanan dengan normal.
Kisah para supir rental ini mengajarkan kita tentang makna esensial dari “lowbat”. Bukan hanya tentang kelemahan daya, tapi tentang kekuatan kebersamaan. Dalam kegelapan, mereka menemukan cahaya dalam kebersamaan, menjadikan perjalanan yang berat terasa ringan dan menyenangkan.
Jika Anda pernah merasa “lowbat” dalam hidup, renungkanlah kisah para supir rental ini. Dalam gelapnya malam, mereka menemukan terang dalam kebersamaan.
Dan dari situlah kita belajar, bahwa dalam kebersamaan, setiap tantangan dapat diatasi, dan setiap perjalanan dapat dilalui dengan penuh semangat.[]
*) Adam Sukiman, penulis adalah pemetik buah hikmah kehidupan, edukator Masyarakat Muda Jakarta dan asisten peneliti Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)