Mahasiswi Universitas Diponegoro Bunuh Diri, Kenapa Dikaitkan dengan Buku “Pedoman Bullying”?

0
72

TRAGEDI yang menimpa seorang residen di Universitas Diponegoro (Undip) yang diduga melakukan tindakan bunuh diri akibat perundungan telah mengguncang dunia pendidikan dan kesehatan kita. Kejadian ini membuka mata kita semua akan realita kelam yang masih menghantui lingkungan pendidikan dokter spesialis (PPDS). Meski pihak Universitas Diponegoro membantah adanya kaitan antara perundungan dengan kematian residen tersebut, perdebatan mengenai fenomena bullying di dunia kedokteran terus bergulir.

br

Boleh jadi kasus ini hanyalah puncak dari gunung es yang menunjukkan ada sesuatu yang lebih mendasar dan perlu diatasi dengan serius serta gentingnya segera diambil langkah-langkah yang pasti untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan berbudaya dalam pendidikan dokter spesialis.

Rasanya sukar ditampik kalau dunia kedokteran memiliki semacam struktur hierarki yang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan. Dari masa magang hingga menjadi spesialis, dokter-dokter junior seringkali berada di bawah bimbingan dan pengawasan dokter senior. Idealnya, hubungan ini dibangun atas dasar saling menghormati dan mendukung demi perkembangan profesional.

Namun, tidak jarang hierarki ini justru menjadi celah bagi praktik-praktik yang tidak sehat, seperti perundungan. Dalam beberapa kasus, residen atau dokter junior merasa tertekan oleh ekspektasi yang berlebihan, permintaan yang tidak masuk akal, hingga perlakuan yang merendahkan martabat.

Budaya Perundungan dan Buku “Pedoman Bullying”

Tak lama setelah kasus bunuh diri yang muncul baru-baru ini itu menguar jadi perhatian publik, segera saja viral di media sosial sebuah buku yang disebut sebagai “Pedoman Bullying” terkait tatakrama dan aturan residen selama proses program pendidikan dokter spesialis.

Bahkan Plt Kepala Biro Komunikasi dr Siti Nadia Tarmizi, mengonfirmasi bahwa sejak regulasi anti perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) resmi diberlakukan, ada lebih dari seratus laporan yang masuk. Ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar dalam sistem pendidikan kedokteran yang seolah-olah sudah lama terabaikan. Menariknya, dr Nadia juga mengakui adanya sebuah ‘buku sakti’—dokumen yang tampaknya secara tidak resmi beredar di antara para dokter junior dan senior, berisi aturan-aturan tata krama dan tugas yang harus dipatuhi oleh para junior.

Buku “Pedoman Bullying” ini, meskipun tidak memiliki bentuk fisik yang dapat dijadikan bukti konkret, ternyata sangat nyata dalam kehidupan para dokter junior. Isi dari buku ini bukan hanya sekadar tata krama atau tugas rutin yang harus dijalani, tetapi lebih dari itu, merupakan serangkaian ‘ritual’ yang harus dipatuhi demi keberlangsungan pendidikan mereka. Beberapa dari aturan tersebut bahkan tidak memiliki relevansi langsung dengan pendidikan medis itu sendiri.

Mengapa sebuah sistem pendidikan yang seharusnya mendukung pengembangan profesionalisme malah menjadi ladang perundungan? Mungkinkah ini adalah refleksi dari budaya senioritas yang telah mendarah daging, bukan hanya di lingkungan pendidikan kedokteran tetapi juga di masyarakat kita secara umum?

Sebagai panduan di dunia akademis, tentu buku pedoman semestinya menjadi panduan etika dan profesionalisme, namun justru menjadi alat yang memperkuat praktik bullying. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah kewajiban dokter junior untuk menerima tugas tambahan dari senior, yang seringkali berada di luar batas kewajaran.

Buku pedoman semacam ini memperlihatkan adanya kekeliruan dalam pemahaman tentang hierarki dan kepatuhan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam sebuah konferensi pers beberapa waktu lalu, menegaskan bahwa banyak poin dalam buku tersebut tidak relevan dengan proses pendidikan dan lebih mengarah kepada bentuk perundungan.

Lebih parah lagi, ada laporan mengenai pemaksaan terhadap dokter junior untuk mengeluarkan uang dalam jumlah besar demi memenuhi tuntutan yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan medis.

Perundungan dalam dunia kedokteran memang bukanlah fenomena baru. Banyak faktor yang turut memperparah situasi ini, di antaranya adalah budaya hierarki yang kaku, tekanan akademis yang tinggi, dan kurangnya mekanisme perlindungan yang efektif bagi korban.

Dokter junior seringkali merasa tidak punya pilihan selain menuruti perintah-perintah yang tidak wajar, karena takut akan konsekuensi terhadap karir mereka. Kurangnya dukungan dari institusi pendidikan dan minimnya sanksi terhadap pelaku perundungan memperburuk keadaan ini.

Perundungan tidak hanya berdampak pada kesehatan mental korban, tetapi juga pada kinerja profesional mereka. Rasa cemas, depresi, dan kurangnya rasa percaya diri dapat mengganggu kemampuan dokter junior dalam memberikan pelayanan medis yang optimal.

Lebih jauh lagi, situasi ini bisa berujung pada tragedi seperti yang terjadi di Undip, di mana seorang residen kehilangan harapan dan memilih jalan yang tragis. Ini bukan hanya kerugian bagi keluarga dan teman-temannya, tetapi juga bagi dunia medis yang kehilangan seorang calon dokter yang berpotensi besar.

Ketertekanan dan Status Quo Senior

Satu hal yang perlu kita soroti adalah alasan di balik diamnya para dokter junior yang menjadi korban perundungan. Ketakutan mereka untuk bersuara bukanlah hal yang sepele. Ada kekhawatiran nyata bahwa dengan berbicara, karier mereka bisa berakhir sebelum dimulai. Pendidikan yang seharusnya menjadi bekal untuk masa depan bisa berubah menjadi beban yang tak tertanggungkan jika mereka berani melawan.

Sistem yang seharusnya melindungi justru menjadi sistem yang menekan. Ketakutan ini menjadi senjata ampuh bagi para senior untuk mempertahankan status quo. Bagaimana mungkin seorang junior dapat berbicara jujur jika setiap kata yang diucapkan bisa saja menjadi bumerang yang mengancam masa depannya?

Kita harus mengakui bahwa mengungkap kasus perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran bukanlah tugas yang mudah. Ketidakmauan para korban untuk bersuara hanya salah satu hambatan. Tantangan lainnya adalah budaya diam yang telah mengakar kuat dalam sistem ini. Tanpa adanya bukti fisik yang jelas, sangat sulit untuk menindaklanjuti laporan-laporan tersebut.

Meskipun Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa mereka berusaha keras untuk mengumpulkan bukti-bukti, hasilnya masih jauh dari memuaskan. Apakah ini berarti kita harus menerima bahwa perundungan adalah bagian dari proses pendidikan yang harus dijalani, atau bisakah kita berharap adanya perubahan yang nyata?

Reformasi Dunia Pendidikan

Mengatasi perundungan di dunia pendidikan tinggi, tidak hanya dalam pendidikan dokter spesialis, membutuhkan upaya kolektif dari semua pihak terkait. Dibutuhkan upaya yang sungguh sungguh dan berkelanjutan dalam mereformasi sistem dan tata kelola pendidikan kita. Setidaknya, menurut saya, ada tiga langkah yang harus diambil untuk mengatasi masalah tersebut.

Pertama, reformasi kurikulum. Langkah utama ini penting segera dilakukan untuk memastikan tata kelola yang egaliter, manusiawi, dan terbuka. Sehingga, dalam konteks ini, buku pedoman dan kurikulum pendidikan dokter spesialis harus direvisi agar lebih fokus pada pengembangan profesional dan etika yang sehat, serta menjauhi praktik-praktik yang bersifat represif. Untuk kebutuhan tersebut, maka dokter senior harus mendapatkan pelatihan khusus mengenai kepemimpinan dan mentoring, untuk memastikan mereka dapat membimbing dokter junior dengan cara yang mendukung dan tidak merendahkan.

Langkah kedua, memastikan mekanisme pelaporan yang efektif. Institusi pendidikan harus menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan efektif bagi dokter junior yang mengalami perundungan, serta menjamin bahwa laporan tersebut akan ditindaklanjuti dengan serius.

Ketiga, menerapkan pendekatan holistik terhadap kesehatan mental, karena bagaimanapun, kesehatan mental dokter residen harus menjadi prioritas. Layanan konseling dan dukungan psikologis harus tersedia dan mudah diakses oleh semua peserta pendidikan dokter spesialis. Disamping itu, untuk memastikan tegaknya hukum pelaku perundungan, maka perlu ada sanksi tegas terhadap pelaku. Sanksi yang tegas dan konsisten harus diterapkan terhadap pelaku perundungan, untuk memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kejadian serupa.

Fenomena perundungan dalam pendidikan dokter spesialis adalah masalah serius yang memerlukan perhatian kita semua. Kita tidak bisa lagi mengabaikan realita ini dan berharap perubahan akan terjadi dengan sendirinya. Dibutuhkan komitmen dari semua pihak—dokter senior, institusi pendidikan, hingga pemerintah—untuk menciptakan lingkungan yang lebih beradab dan mendukung perkembangan profesional dokter-dokter muda kita.

Masalah perundungan dalam pendidikan dokter spesialis adalah penanda dari masalah yang lebih besar dalam sistem pendidikan dan budaya kita. ‘Buku sakti’ pedoman bullying mungkin hanyalah puncak dari gunung es. Di bawah permukaan, ada banyak masalah lain yang menunggu untuk diungkap. Apakah kita siap untuk menghadapi kenyataan ini dan melakukan perubahan, atau akankah kita terus berdiam diri, membiarkan budaya ini tetap hidup?

Tragedi yang menimpa residen di Undip adalah panggilan untuk kita semua agar berbuat lebih baik. Mari kita jadikan ini sebagai momentum untuk melakukan perubahan nyata, demi masa depan dunia kesehatan Indonesia yang lebih cerah dan berbudaya.

*) Adam Sukiman, penulis adalah aktifis komunitas Edukator Masyarakat Muda Jakarta (EMJ), Ketua PW Pemuda Hidayatullah DKI Jakarta, dan juga bergiat sebagai intern researcher di Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)