Mahkamah Konstitusi Tegaskan Belum Ada Rekayasa Konstitusional Pemilu Nasional

NN Newsroom

Kamis, 28 Agustus 2025

Ketua MK Suhartoyo saat Pengucapan Putusan Perkara Nomor 124/PUU-XXIII/2025 Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, Kamis, 28 Agustus 2025 (Foto: Dok. Humas MK RI)

NASIONAL.NEWS – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk tidak menerima permohonan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan melalui Perkara Nomor 124/PUU-XXIII/2025.

Permohonan tersebut diajukan setelah lahirnya Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, namun hingga kini pembentuk undang-undang belum menindaklanjutinya dengan norma baru.

Dalam sidang pengucapan putusan yang berlangsung pada Kamis (28/8/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Ketua MK Suhartoyo menyampaikan amar putusan.

“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon Nomor 124/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima,” ujar Suhartoyo seperti dilansir laman MKRI.

Kedudukan Para Pemohon

Suhartoyo menjelaskan, para Pemohon yang terdiri dari Paralegal Brahma Aryana (Pemohon I), mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Arina Sa’yin Afifa (Pemohon II), dan Muhammad Adam Arrofiu Arfah (Pemohon III) telah memenuhi syarat sebagai Pemohon karena berstatus warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih serta kedudukan sebagai aktivis maupun mahasiswa.

Namun, kata Suhartoyo, Mahkamah tidak dapat menilai klaim kerugian konstitusional mereka.

Hal itu dikarenakan pemaknaan baru terhadap pasal-pasal yang diuji dalam perkara tersebut, yang sebelumnya telah diputus melalui Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, belum ditindaklanjuti oleh DPR RI dan Presiden selaku pembentuk undang-undang.

Dengan kata lain, rekayasa konstitusional terkait masa jabatan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota akibat pemisahan pemilu nasional dan lokal masih belum terakomodasi dalam regulasi baru.

“Ihwal anggapan kerugian atau potensi kerugian Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III belum atau tidak dapat dinilai Mahkamah, dengan sendirinya Mahkamah pun tidak dapat menilai ihwal hubungan sebab-akibat atau causal verband yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian,” tegas Suhartoyo.

Latar Belakang Permohonan

Permohonan perkara ini berangkat dari keberatan para Pemohon atas pemisahan pemilu nasional dan lokal sebagaimana ditetapkan dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Mereka menilai, digabungkannya pemilihan anggota DPRD dengan pemilihan kepala daerah justru menimbulkan persoalan serius terhadap amanat konstitusi mengenai periodisasi pemilu lima tahunan.

Menurut para Pemohon, pola pemisahan tersebut yang menyebabkan adanya jeda sekitar dua hingga dua setengah tahun, berpotensi melahirkan masalah konstitusional seperti terjadinya kekosongan jabatan atau perpanjangan masa jabatan DPRD di luar mekanisme konstitusi.

Dalam petitumnya, mereka meminta Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK 135/PUU-XXII/2024, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Namun, Mahkamah menegaskan belum adanya tindak lanjut dari pembentuk undang-undang menjadikan permohonan tersebut tidak dapat diterima.

Putusan ini sekaligus menegaskan posisi MK bahwa perubahan lanjutan atas regulasi pemilu nasional dan lokal merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, bukan Mahkamah.

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version