Mantan Kepala Mossad Dukung Tony Blair Pimpin Pemerintahan Sementara Gaza

NN Newsroom

Minggu, 28 September 2025

Tony Blair berbicara di panel "Berinvestasi dalam Kemakmuran Afrika" pada Konferensi Global Milken Institute, Los Angeles, 1 Mei 2013 (Foto: Tim Media Paul Kagame/ Flickr)

Spektrum bahasan

NASIONAL.NEWS — Di tengah perdebatan panjang mengenai masa depan Jalur Gaza pascaperang, wacana pembentukan pemerintahan transisi kembali mengemuka. Nama mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, mencuat sebagai kandidat utama untuk memimpin lembaga tersebut. Meski menuai pro dan kontra, dukungan datang dari salah satu tokoh penting intelijen Israel.

Mantan kepala Mossad, Yossi Cohen, dalam wawancaranya dengan BBC Radio, menegaskan bahwa ia menyukai gagasan itu.

“Jika dia bersedia mengambil tanggung jawab ini, yang sangat besar, saya pikir ada harapan bagi Gaza,” ujar Cohen. Ia bahkan menyebut Blair sebagai “orang yang luar biasa” dalam kapasitasnya sebagai mediator internasional.

Rencana pembentukan pemerintahan transisi ini pertama kali dilaporkan New Arab. Tony Blair disebut ditugaskan mengawasi pembangunan kembali Gaza melalui lembaga bernama Otoritas Transisi Internasional Gaza.

Badan ini digambarkan sebagai “otoritas politik dan hukum tertinggi” yang akan bekerja selama lima tahun dengan mandat dari PBB, sebelum menyerahkan kekuasaan kembali kepada Otoritas Palestina di Ramallah.

Menurut laporan The Times of Israel, pemerintahan transisi akan memimpin Gaza untuk sementara waktu hingga kondisi stabil. Rencana itu menegaskan tidak ada pembahasan mengenai relokasi warga Palestina, sebuah isu sensitif yang kerap menjadi garis merah dalam negosiasi.

Keterlibatan Blair sendiri berangkat dari diskusinya dengan Presiden AS Donald Trump dan sejumlah pihak lain terkait desain otoritas transisi pascaperang.

Financial Times melaporkan bahwa Blair, yang pernah menjabat sebagai utusan perdamaian Timur Tengah dari 2007 hingga 2015, bahkan meminta menjadi anggota dewan pengawas badan tersebut.

Peran Tony Blair

Laporan media Israel sebelumnya memicu spekulasi luas mengenai perannya. Sumber dekat Blair membenarkan bahwa ia telah menyusun kerangka skema penghentian konflik bersama beberapa pihak internasional, meski tanpa agenda penggusuran permanen warga Gaza.

BBC menyebut otoritas transisi ini akan memiliki sekretariat berisi 25 orang dan dewan pengawas tujuh orang. Pusat operasinya sementara akan ditempatkan di Mesir, sebelum dipindahkan ke Gaza bila keadaan memungkinkan.

Keterlibatan Blair dipandang paradoksal karena rekam jejaknya dalam invasi Irak 2003. Penyelidikan resmi di Inggris menemukan bahwa keputusan Blair bergabung dalam perang dipicu oleh intelijen cacat. Meski demikian, peran barunya berpotensi menarik dukungan dari PBB maupun negara-negara Teluk yang diharapkan terlibat dalam pendanaan.

Blair sendiri diketahui telah menghadiri pertemuan di Gedung Putih bersama Trump pada Agustus lalu untuk membicarakan rencana pembangunan kembali Gaza.

Trump sebelumnya pernah melempar gagasan menjadikan Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah”, meski rencana itu memicu kecaman lantaran memuat ide pemindahan paksa penduduk.

Setelah mundur sebagai perdana menteri pada 2007, Blair memang kerap berkecimpung dalam inisiatif perdamaian Timur Tengah. Mandatnya waktu itu adalah mendorong pembangunan ekonomi dan institusi Palestina sebagai fondasi negara masa depan.

Kini, dengan dukungan suara dari mantan kepala intelijen Israel, peluang Blair untuk kembali menjadi figur kunci di kawasan tersebut kembali terbuka.

TERKAIT LAINNYA