APA hubungan antara zakat dengan pemuda? Jika menilik sejarah dalam literatur khazanah Islam, relasi keduanya sangat relevan. Kita sebutlah sosok anak muda bernama Mu’adz bin Jabal, yang memeluk Islam pada usia 18 tahun.
Dalam rekaman sejarah, anak muda ini memiliki ciri fisik yang gagah, berkulit putih, berbadan tinggi, berambut pendek dan ikal, dan bergigi putih mengkilat. Di usia mudanya, Mu’adz dikirim Rasulullah untuk menjadi amil zakat di Yaman.
Di Yaman, Mu’adz tidak saja menyerukan dan mengumpulkan zakat kaum muslimin. Karena keilmuannya yang dalam dan mumpuni, ia juga dipercaya menjadi qadhi atau hakim yang menjadi tempat masyarakat mengadukan berbagai permasalahan mereka.
Mu’adz hanyalah satu diantara banyak para sahabat Nabi yang terjun menjadi penyeru kewajiban zakat. Usia mereka umumnya masih muda dan menjadi influencer kebaikan demi tegaknya rukun Islam ketiga tersebut.
Mengingat urgensi perluasan syiar zakat sebagai hal yang tak perpisahkan dari peran generasi muda, maka usaha untuk ketersediaan sumber daya yang memadai pada aspek ini menjadi penting dan mendasar untuk dilakukan. Disamping memang umat Islam dan kaum mudanya mesti sadar bahwa ini adalah sumber kekuatan empirik paling nyata.
Berkenaan dengan hal tersebut, menarik untuk mengetengahkan kembali pikiran menarik yang disampaikan oleh Humas Laznas BMH, Imam Nawawi, saat menjadi narasumber dalam acara forum refleksi Hari Sumpah Pemuda digelar Laznas BMH mengangkat tema “Pemuda, ZIS, dan Palestina Kekuatan Nyata Umat Islam” pada Sabtu petang, (28/10/2023), kaitannya zakat dengan konteks pemuda Indonesia hari ini.
Pada kesempatan tersebut, Imam menyampaikan pentingnya gerakan membaca seraya memberi alat ukur dari sisi masa (waktu) yakni pemuda masa pra kemerdekaan dan pemuda masa kini.
Imam menjelaskan, di masa pra kemerdekaan kaum muda Islam Indonesia aktif membaca kendati fasilitas amat terbatas, sehingga mereka bisa menakar dengan tajam perihal apa yang akan terjadi dalam konstelasi global dan apa yang perlu mereka lakukan untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
Oleh sebab itu, menurut Imam, pemuda masa kini musti berefleksi pada teladan yang telah dilakoni pemuda masa pra kemerdekaan untuk mengentaskan umat dari kemunduran, ilmu, dan teknologi. Dan, mampu menjawab tantangan keumatan, dari ekonomi, sosial, hingga peradaban, sebagaimana muatan muatan utama dalam kebermanfaatan zakat.
Bonus Demografi
Indonesia akan memasuki puncak bonus demografi pada tahun 2030 mendatang. Dimana penduduk usia produktif dimasa itu akan mendominasi dibandingkan usia non produktif.
Per tahun 2020 saja, berdasarkan data BPS, jumlah penduduk usia produktif atau angkatan kerja sebanyak 140 juta jiwa dari total 270,20 juta jiwa penduduk indonesia. Apalagi pada tahun 2030, jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat pesat.
Lebih spesifik lagi, berdasarkan data yang disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2019, jumlah pemilih muda (milenial) yang jumlahnya mencapai 70-80 juta dari sekitar 193 juta pemilih. Mereka ada dikisaran usia 17-35 tahun.
Jumlah yang besar itu jika diasumsikan sepersepuluh kaum muda merupakan muslim dengan penghasilan yang mencapai nisab minimal zakat profesi, artinya potensi perolehan zakat dari kaum muda diperkiran bisa mencapai miliaran bahkan ratusan triliun pertahun.
Baznas bahkan menyebut perolehan zakat berpotensi mencapai 327 triliun per tahun menurut data dari kajian pusat Baznas.
Artinya, bonus demografi yang didominasi oleh kaum muda sekaligus akan menjadi bonus potensi perolehan zakat apabila mampu dimaksimalkan dengan baik.
Lantas, pertanyaannya, mengapa itu selalu menjadi potensi? Imam melihat, hal ini karena masalah zakat ini hanya jadi konsen Baznas dan Laznas, belum terlalu masuk ke ruang ruang dialektika pemuda.
Membangun Kesadaran
Urgensi zakat dalam mengentaskan masalah keumatan dewasa ini juga ditegaskan oleh dai muda Ust. Fahmy Faishal Bahreisy, Lc, MA, masih dalam Forum Refleksi Sumpah Pemuda pada Sabtu malam itu.
Fahmy menegaskan, zakat merupakan salah satu kekuatan besar dalam membangun umat sehingga perlu sekali untuk dikuatkan. Bahkan termasuk bisa menjadi solusi dalam meretas masih rendahnya kekuatan dan penguasaan media umat Islam di kancah perang opini (al ghazwul fikr). Sehingga publik seringkali tercekoki semburan hoaks karena disinformasi tentang Islam yang beredar di masyarakat.
Hal senada diutarakan Mbak Novi Nusaibah dari Forum Zakat (FOZ) yang menegaskan kembali pentingnya peran pemuda sebagai agen perubahan (agent of change) dalam mendenyuti gerakan keswadayaan nasional untuk menguatkan sesama, termasuk dalam masalah Palestina.
Pada akhirnya memang literasi zakat perlu untuk terus dioptimalkan, tidak saja karena potensinya yang sangat besar, namun lebih dari itu, agar pemuda memahami posisi zakat sebagai instrumen sosial dan transendental sekaligus.
Zakat dengan fungsi sosialnya memiliki peran determinan dalam menjawab problem peradaban umat manusia hari ini seperti masalah kemiskinan, kelaparan, keadilan, dan di waktu yang sama sebagai jembatan diplomasi untuk mempromosikan perdamaian.
Jumlah pemuda yang banyak jika tidak dibangun kesadarannya tidak akan berarti apa-apa. Sehingga peran media, baik cetak maupun online, perlu terus digalakkan sehingga kaum muda memiliki pemahaman mendalam tentang pentingnya zakat sebagai konsekwensi dari tauhid dan akidah yang maslahatnya tidak hanya dirasakan terbatas bagi pemeluknya tetapi juga secara inklusi menghadirkan kebaikan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.
Modal kesadaran inilah yang saya kira sangat penting untuk mendorong kedermawaanan serta ghirah kaum muda dalam memajukan zakat sehingga menjadi kekuatan nyata dalam membangun umat dan bangsa.
*) Adam Sukiman, penulis adalah Ketua PW Pemuda Hidayatullah DKI Jakarta