RASANYA semua media online berita hari ini melakukan pemuatan artikel laporannya dengan menggunakan skema multiple page. Satu headline yang sebenarnya bisa disajikan dalam satu halaman, tetapi disuwir suwir menjadi beberapa bagian.
Media online dengan fleksibelitasnya sebenarnya memungkinkan berita dimuat sekaligus. Selanjutnya, tinggal diperbaharui melalui progress report.
Namun, karena tuntutan jumlah penayangan (pageview), artikel pendek pun dimutilasi menjadi multiple page dimana setiap halamannya disesaki native ads yang sama menyebalkannya dengan banner ads.
Pageview tinggi memang sepertinya menjadi muara utama media online untuk selanjutnya ditawarkan ke pengiklan. Media tidak ada iklan sama dengan menyiapkan nisan kuburan kematiannya.
Di sisi lain media dituntut menyajikan kualitas. Sayangnya, dengan kemajuan teknologi informasi yang turut mempengaruhi pola transformasi media, kualitas mulai disisihkan.
Kini media berlomba lomba menyajikan kecepatan, sehingga, kuantitas pun lebih dinomorsatukan ketimbang kualitas. Akibatnya, pembaca (users) tidak mendapatkan sesuatu yang “berisi”.
Belum lagi dengan gempuran clickbait dan sensasionalisme yang tanpa malu malu ditempatkan di headline. Tidak sedikit kawan, ketika mendapati model penyajian berita seperti ini, langsung kehilangan selera.
Media Online Berkualitas
Ditengah massifnya penyebaran informasi palsu (hoaks), pegiat media dituntut menghadirkan jurnalisme baru yang berkualitas. Dan, tak terelakkan, sesuatu yang kualitas berbanding lurus dengan fulus.
Untuk menyajikan liputan berkelas dan berstandar tinggi membutuhkan biaya. Beberapa media kemudian menerapkan sistem berlangganan. Meski ini mungkin bisa sedikit menambal sumber pemasukan, tapi belum cukup untuk menopang kerja kerja jurnalistik yang seringkali amat berisiko.
Karena itu, nafas dari jurnalisme berkualitas sejatinya tidak ditentukan oleh uang tapi haluan. Di sini kita sering menyebutnya idealisme. Pilihan ini berat, risikonya melarat, apalagi hari hari ini, ketika independensi media berhadapan dengan kepentingan pemodal.
Disamping itu, model bisnis media online tidak pernah benar benar stabil. Banyak media berita online menghadapi tantangan dalam mencari model bisnis yang berkelanjutan. Iklan online mungkin tidak cukup untuk menutupi biaya operasional, dan hal ini dapat memengaruhi independensi editorial.
Problem lain yang tak kalah mendasar adalah media online sering kali terjebak dalam kontroversi dan polarisasi, terutama mulai terlihat sejak Pemilu 2004. Komentar pembaca yang cenderung reaktif dan partisan dapat memengaruhi citra media dan menantang objektivitas berita.
Hal inilah yang kemudian semakin mengentalkan kekhawatiran berkenaan “clickbait” dan sensasionalisme. Tidak sedikit media online tergoda untuk menggunakan judul sensasional atau konten “clickbait” untuk menarik perhatian pembaca.
Model penyajian clickbait seperti ini jelas mencemaskan karena dapat mengarah pada ketidakakuratan informasi dan penurunan kualitas berita.
Demikian pula dengan tekanan politik dan pengaruh eksternal yang tak jarang dialami media. Pemerintah atau kelompok tertentu dapat mencoba memengaruhi narasi atau menghambat kebebasan pers.
Disamping itu, ada gejala overload informasi (infobesity) dengan banyaknya informasi yang tersedia secara online, di mana mereka kesulitan memilah dan memahami informasi yang relevan dan akurat.
Belum lagi perkembangan teknologi seperti deepfake dan teknologi manipulasi lainnya dapat memperumit upaya media untuk menyajikan berita yang benar dan akurat.
Akhirnya, untuk menjaga integritas dan relevansi, media berita online perlu terus beradaptasi dengan perubahan ini sambil mempertahankan standar etika dan kualitas informasi.
Menciptakan lingkungan online yang lebih kredibel memerlukan upaya bersama dari semua pihak yang terlibat, termasuk penerbit berita, pembaca, dan pihak berwenang.[]