Oleh Rasman Jainal Tkela, SE
TAHUN politik telah diambang pintu. Ini artinya, hingar bingar kampanye mulai tersaji sejak hari hari ini. Para politisi pun mulai saling beradu untuk dipilih. Baliho dan spanduk spanduk telah terpampang di mana mana.
Satu kata kunci untuk memulai tulisan ini sebagaimana judul di atas, bahwa, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus menempuh jalan demokrasi yang sehat dan cerdas untuk perubahan nasib menjadi lebih baik.
Kita tentu bersepakat pada demokrasi yang adiluhung, sehat, dan mencerdaskan. Inilah demokrasi Pancasila. Bukan demokrasi yang liberal yang kebablasan.
Maka pada titik inilah, menurut saya, demokrasi hendaknya menuntun rakyat menjadi pemilih yang logis dan diwaktu yang sama mendapatkan hak haknya dasar politiknya sebagai warga negara dan warga bangsa.
Pada gilirannya nanti, masyarakat yang demokratis akan menjatuhkan pilihan pada kandidat yang tepat, yakni kandidat yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.
Suara Tuhan
Ada istilah bahwa suara rakyat adalah suara tuhan. Ini menggambarkan bahwa penentuan perubahan nasib bangsa terletak pada rakyat sebagai pemilik suara.
Setali tiga uang dengan adagium tersebut, dalam kitab suci memang telah ditegaskan bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suata bangsa melainkan kaum atau masyarakat dalam bangsa itu sendiri yang akan merubah nasibnya sendiri.
Artinya, perubahan itu tidak terjadi seperti membalik telapak tangan atau menjelma senyatanya yang serta merta turun dari langit. Tidak. Perubahan butuh kesadaran dan gerakan, selain kemauan dan konstruksi nalar yang berkemajuan. Perubahan selalu menuntut langkah langkah perjuangan dan pengorbanan yang cerdas.
Dalam kaitannya dengan pemilihan itu yang tak terasa sebentar lagi akan bergulir, maka semangat kita adalah semangat berdemokrasi dengan sehat dan cerdas.
Berdemokrasi yang sehat dan cerdas berarti menegasikan segala tindakan-tindakan politik feodal, tunggal, dan brutal yang akan mencederai kontestasi politik yang sejatinya memiliki nilai luhur sebagaimana muatan substantifnya.
Karenanya, praktik ini menghendaki adanya penyelenggaraan pemilu yang harus transparan, jujur dan adil, karena ini adalah syarat utama dalam melahirkan iklim demokrasi yang sehat.
Praktik praktik feodal yang saya maksud adalah terjadinya “kongkalikong” yang akan menjegal lawan politik, atau menggunakan instrumen hukum untuk menggagalkan lawan politik. Ini perlu dikemukakan sebab aroma busuk menjadikan hukum sebagai industri mulai santer tercium.
Disamping itu, ada juga kekhawatiran praktik politik belah bambu dimana ada satu pihak dipersekusi dengan berbagai insinuasi dan sementara pihak lainnya diglorifikasi sejadi jadinya. Atau bahkan menggunakan kekuatan eksternal untuk meloloskan kepentingan segelintir orang atau bahkan sekutunya.
Propaganda
Salah satu hantu demokrasi yang menurut saya amat perlu dicemaskan adalah media, terutama ketika ia mewujud menjadi sebagai alat propaganda. Tidak saja media konfensional, terlebih lagi media arus utama (mainstream).
Media sebagai alat propaganda memang bukan barang baru. “Menumbuhkan kebencian terhadap musuh dan mempertahankan persahabatan dan, jika mungkin, untuk menjalin kerja sama dengan pihak-pihak yang netral,” kata Harold Lasswell, ilmuan politik, soal tujuan propaganda.
Diantara yang paling menonjol dari propaganda adalah labelisasi yang disematkan oleh yang punya kuasa kepada mereka yang dianggap “subversif” atau mengganggu kemapananan status quo. Ada semacam demonisasi sistemtik kepada pihak pihak yang dianggap lawan sehingga dengan begitu ia harus disingkirkan.
Di masa lampau pun kita mendapati realitas serupa ketika penjajah menyematkan label tertentu kepada para pejuang kemerdekaan. Namun, kita bersyukur, sebab pola ini segera dapat dibaca oleh para pendiri bangsa dan dengan cepat menegasikannya. Itulah sebabnya founding father kita tidak pernah menggunakan istilah “mayoritas” dan “minoritas” dalam bernegara dan berdemokrasi kita.
Indonesia merdeka dan didirikan bukan untuk mayoritas dan minoritas melainkan untuk seluruh rakyat indonesia. Walaupun kita berbeda agama, suku, dan ras, namun dibingkai dalam persatuan yakni Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda beda tetapi satu.
Siapa saja yang diamanahi oleh rakyat menjadi pemimbin bangsa maka harus membawa dan memperjuangan kepentingan semua rakyat tanpan melihat perbedaan perbedaan itu.
Akhirnya, Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara adalah pangkal dari demokrasi yang kita anut dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya, penyelenggaran pemilu harus berdasarkan nilai luhur yang senantiasa kita junjung tinggi yakni transparan, jujur, dan adil.
Pikiran demokratis harus terhujam ke sanubari kita sehingga pada berbagai hal termasuk dalam hal masa akhir jabatan jikalau telah selesai sebagaimana diatur dalam konstitusi kita UUD 1945 Pasal 7, maka seorang pemimpun hendaknya legowo bersikap proporsional, adil, dan bijaksana.
Masih dengan semangat penegakan konstitusi yang sama, hendaknyalah pula seorang pemimpin bersiap dalam menyambut pemimpin baru di periode berikutnya dengan samangat suksesi yang berkeadilan, imparsial, setara, beradab.
Di waktu yangf sama, tak elok dan memang tak boleh seorang pemimpin yang masih menjabat ikutan cawe-cawe dalam menentukan pemimpina penggantinya, melainkan harus memberikan ruang eksplorasi seluas luasnya kepada setiap anak bangsa yang memiliki kemampun untuk memimpin bangsa ini. Hal inilah yang dituntunkan konstitusi kita sebagamana diatur dalam UUD 1945 Pasal 6 ayat 1.
Inilah ajaran demokrasi kita yang memiliki nilai luhur dan muatan pelajaran, pengajaran, dan dasar pijakan kita dalam berbangsa dan bernegara.
Semoga Allah tuhan semesta alam memberkahi setiap langkah perjuangan kita dalam membawa Indonesia lebih baik dimasa-masa akan datang. Salam demokrasi!
Penulis adalah aktifis sosial dan kemanusiaan, tinggal di Depok