Pakar Hukum UGM Sikapi Polemik Nasional Uji Materi Pasal Tipikor

NN Newsroom

Jumat, 5 September 2025

NASIONAL.NEWS — Polemik mengenai uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kembali menyeruak dalam ruang publik nasional.

Perdebatan ini tidak hanya menyangkut kepastian hukum, tetapi juga masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sejumlah pihak menilai pasal tersebut rawan multitafsir dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi.

Namun, pandangan akademisi yang juga pakar hukum pidana UGM, Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M., menegaskan bahwa pasal tersebut tidak seharusnya dihapus, melainkan dipertahankan dengan tafsir yang lebih jelas.

Menurutnya, Pasal tersebut harus tetap dipertahankan, tetapi dengan tafsir yang lebih jelas dan tegas.

“Amicus curiae adalah pandangan hukum yang diberikan kepada hakim MK untuk membantu pertimbangan dalam memutus kasus,” ujar Muhammad Fatahillah Akbar dalam keterangannya dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (4/9/2025).

Sebelumnya, Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan mengajukan amicus curiae atau sahabat pengadilan kepada Mahkamah Konstitusi.

Mereka menilai kedua pasal tersebut perlu direvisi karena dianggap mengacaukan arah pemberantasan korupsi. Dalam pandangan mereka, pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum, membuka ruang kriminalisasi, serta rawan dipolitisasi.

Menanggapi hal tersebut, Akbar menegaskan posisi akademiknya. “Hakim dapat mempertimbangkan amicus curiae sebagai pencerahan, tetapi keputusan tetap berada di tangan hakim. Dalam konteks Pasal 2 dan 3, saya melihat pasalnya perlu dipertahankan, bukan dihapus, agar pemberantasan korupsi tidak lumpuh,” jelasnya.

Ia kemudian menekankan perlunya batasan tafsir yang tegas. Unsur “melawan hukum” dalam kedua pasal tersebut, menurutnya, sebaiknya merujuk pada tindak pidana yang sudah jelas diatur dalam Pasal 5 hingga 13 UU Tipikor, seperti suap atau penggelapan jabatan. Dengan demikian, Pasal 2 dan 3 berfungsi sebagai dasar pemberatan hukuman.

“Kalau tafsirnya tetap dibiarkan umum, akan ada risiko kriminalisasi. Karena itu hakim harus mempersempit tafsir, bahkan sebaiknya pasalnya juga diubah agar tidak multitafsir,” ujarnya.

Memperjelas Substansi Penerapan

Akbar menambahkan, menghapus pasal tersebut justru akan berdampak buruk bagi upaya pemberantasan korupsi di tingkat nasional.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa membiarkan pasal itu tanpa batasan tafsir akan menimbulkan ketidakadilan.

Jalan tengah yang ia tawarkan adalah mempertahankan pasal dengan memperjelas substansi serta membatasi penerapannya.

“Pasal ini sangat penting untuk menjangkau bentuk-bentuk korupsi yang serius. Tetapi harus dipastikan penerapannya. Intinya, harus ada kepastian hukum yang melindungi masyarakat sekaligus memperkuat pemberantasan korupsi,” pungkas Akbar.

Polemik ini menunjukkan pemberantasan korupsi bukan hanya soal penindakan, tetapi juga soal kepastian hukum.

Diketahui, perdebatan di Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 2 dan 3 UU Tipikor menjadi cermin bahwa hukum pidana nasional terus berproses mencari keseimbangan antara ketegasan dalam melawan korupsi dan perlindungan terhadap hak warga negara.

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version