JAKARTA – Pengurus Besar Kesatuan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (PB KMTI) mendukung rencana beberapa organisasi masyarakat Islam yang mengusulkan dua ulama besar Aceh yang juga tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) menjadi pahlawan nasional.
Dua ulama tersebut adalah Abu Hasan Krueng Kalee (Ketua PERTI Daerah Aceh 1952-1968) dan Abuya Muda Waly (Guru Besar PERTI di Labuhan Haji yang membawa PERTI pertama kali ke bumi Aceh).
Ketua Umum PB KMTI, M Hidayatullah, mengatakan usulan ini sebenarnya sudah sejak lama didengungkan oleh beberapa pihak termasuk oleh Pengurus Daerah Organisasi Pelajar Islam (PD OPI) Aceh tahun 2020 lalu yang disampaikan oleh Wakil Ketua PD OPI Aceh, Rozal Nawafil, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Dakwah, Sosial dan Ekonomi Kreatif PB KMTI.
“Selanjutnya, Pemerintah Aceh harus lebih berperan dalam mengusahakan hal ini,” kata Hidayatullah dalam keterangannya diterima media Nasional.news, Rabu (27/8/2023).
Menurutnya, Abu Krueng Kalee merupakan ulama sekaligus politikus yang berpengaruh di negeri ini hingga masuk dalam jajaran anggota Konstituante RI dari fraksi PERTI.
Begitupun, Abuya Muda Waly yang sangat intens dalam menegakkan tarbiyah islamiyah. Abuya Muda Waly adalah ulama yang paling berhasil di Aceh.
“Dayah Darussalam yang ia dirikan telah melahirkan ulama-ulama besar madzhab Syafii yang selalu menjadi kiblat masyarakat Aceh, bahkan Nusantara,” imbuhnya.
Ketokohan Inyiak Canduang
Di lokasi terpisah, Ketua Bidang Dakwah, Sosial dan Ekonomi Kreatif Pengurus Besar KMTI, Rozal Nawafil, mengungkapkan beberapa tahun terakhir PERTI juga mendorong pendiri PERTI yaitu Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Menurutnya, baik Inyiak Canduang, Abu Krueng Kalee, maupun Abuya Muda Waly layak diberikan gelar pahlawan nasional karena sangat banyak jasa dan sumbangsih yang mereka persembahkan untuk negara ini baik dalam pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi maupun politik.
Rozal menyebutkan, ketiga tokoh tersebut merupakan figur yang berperan dalam pemberian gelar Waliyyul Amri Adhdharuri Bisysyaukah kepada Presiden Soekarno melalui Konferensi Alim Ulama di Istana Cipanas Bogor pada tanggal 3 sampai 6 Maret 1954 yang dihadiri oleh para ulama berpengaruh dari hampir seluruh provinsi kecuali Yogyakarta.
“Keputusan konferensi tersebut menjadi penegas kedudukan presiden Indonesia (Soekarno) sebagai pemimpin yang sah menurut agama Islam,” kata Rozal.
Sehari sebelum konferensi tersebut, Abu Krueng Kalee, Abuya Muda Waly dan Inyiak Canduang juga hadir dalam konferensi pendahuluan di Jakarta. Dalam konferensi pendahuluan tersebut hadir 6 tokoh dari PERTI, 3 dari NU dan 2 dari Muhammadiyah.
Berdasarkan laporan tahunan 1954 Kementerian Agama, seharusnya dari Aceh selain Syekh Hasan Krueng Kalee dan Syekh Muda Waly juga diundang Syekh Abdussalam Meuraxa untuk menghadiri konferensi tersebut tetapi ia berhalangan.
“Abu Krueng Kalee, Abuya Syekh Muda Waly dan Syekh Sulaimain Arrasuli adalah ulama-ulama Sumatra yang nasionalis dan berpaham Ahlussunnah Wal Jamaah serta bermazhab syafii yang bersama-sama harus kita perjuangkan menjadi pahlawan nasional Indonesia”, ujar Rozal.
Usulan dari Kajian Aktual Tastafi
Sebelumnya, sejumlah ormas Islam berbasis dayah menyepakati dan mengusulkan dua ulama besar Aceh yaitu Abu Krueng Kalee dan Abuya Muda Waly diangkat untuk menjadi pahlawan nasional.
Pengusulan itu dilakukan dalam Kajian Aktual Tastafi di Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh pada Minggu (27/8/2023), dengan mengangkat tema “Kontribusi Besar Ulama Aceh dalam Mewujudkan dan Merawat Kemerdekaan Indonesia”.
Kajian tersebut menghadirkan Ulama Muda Aceh Abuya Habibi Muhibuddin Waly Al Khalidi, Senior DPP ISAD Aceh Tgk M Yusuf Al-Qardhawy SHI CPM MH, Akademisi UIN Ar-Raniry dan Ulama Dr H Tgk Mutiara Fahmi LC MA, Kalakbintal Iskandar Muda Letkol Mulyadi, ST MIPol MTr (Han).
Ulama sekaligus Akademisi UIN Ar-Raniry yang juga cucu dari Abu Hasan Krueng Kalee, Dr Tgk H Mutiara Fahmi Razali LC MA dalam forum tersebut mengatakan ada banyak peran besar ulama Aceh dalam hal politik saat kemerdekaan Republik Indonesia, khususnya Abu Hasan Krueng Kalee dan Abuya Muda Wali.
Salah satunya ada maklumat ulama Aceh yang ditandatangani pada 15 Oktober 1945 oleh Abu Hasan Krueng Kalee, Abu Ja’far Shiddiq Lamjabat, Abu Ahmad Hasballah Indrapuri, dan juga Abu Daud Beureueh.
Maklumat tersebut seolah-olah fatwa dari ulama Aceh pada masa itu yang menyatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kelanjutan dari perjuangan Teungku Chik Ditiro. Jelas tertulis dalam maklumat itu, dan ini adalah perang Sabil yang harus dibantu.
“Dengan lahirnya maklumat tersebut, maka berdirilah di situ di belakang Presiden Soekarno, itu adalah sebagai ketaatan kepada pemimpin. Lalu apa yang terjadi setelah itu, maka lahirlah barisan Mujahidin di seluruh pesantren dan dayah-dayah di Aceh,” kata Tgk. Mutiara Fahmi.
Dia melanjutkan, pada tanggal 17 November terjadi Musyawarah besar didepan Masjid Tiro yang disitu Abu Hasan Krueng Kalee hadir kemudian mengangkat Teungku Umar Tiro sebagai Panglima Barisan Mujahidin.
Sementara di Banda Aceh di depan Masjid Baiturrahman, seminggu setelahnya atau tanggal 23 November lahir Barisan Hizbullah yang dipimpin langsung oleh Teungku Daud Beureueh,” sambungnya.
Tugas para pejuang Barisan Mujahidin dan Hizbullah ini, lanjut Tgk. Mutiara Fahmi, bukan hanya menjaga Aceh dari masuknya kembali tentara Belanda, tapi juga mengirim tentara pejuang Aceh ini hingga ke Besitang, sampai ke Langkat, sampai ke Brandan yang dikenal dengan Perang Medan Area.
Menurut dia, Perang Medan Area ini namanya yang Medan, tapi yang berperang adalah orang Aceh. Karena lokasinya yang di Medan tapi yang datang itu untuk berperang orang Aceh.
“Ini adalah bukti nyata dari peran ulama Aceh dalam menjaga kemerdekaan Republik Indonesia. Turun langsung dalam militer,” cetusnya.
“Adapun peran Abu Hasan Krueng Kalee dalam menjaga kemerdekaan ketika ada perang cumbok, sebelum pecah peperangan, Abu Krueng Kalee mendatangi Teungku Daud Cumbok. Sekalipun nampak mendukung Soekarno namun tidak ‘menjilat’. Abu Krueng Kalee juga mengkritik Soekarno dalam beberapa hal karena selalu berada di pihak netral atas hukum Islam,” sebutnya.
Kemudian pada situasi sulit lainnya, ketika Aceh merasa dikhianati Soekarno dan Teungku Daud Beureueh membuat Gerakan DI TII untuk kembali berpisah dari NKRI, ketika Teungku Beureueh mengajak Abu Krueng Kalee bergabung ke pergerakannya, beliau berpegang sesuai dengan pandangan fikih siasahnya, bukan kepentingan politik sesaat.
“Abu Krueng Kalee menolak dengan kata yang popular sampai hari ini – ta peuek geulayang wate na angen, (naikkan layangan ketika ada angin),” papar Dr. Mutiara Fahmi.
Ciptakan Keamanan Pasca Kemerdekaan
Sementara itu, ulama muda Aceh yang juga cucu Abuya Muda Waly, Tgk Habibie Muhibbuddin Waly S Th menyebut Abuya Muda Waly punya jasa besar dalam kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam menciptakan keamanan kembali di Aceh pasca kemerdekaan.
Pada masa DI/TI, Gubernur Sumatera Utara SM Amin tidak hanya berterimakasih kepada Abuya Muda Waly tapi juga berterimakasih kepada Abu Hasan Krueng Kale, karena tidak masuk atau mendukung kelompok pemberontakan, yang saat itu sudah terpengaruh oleh beberapa aliran dari luar.
“Intinya, dari beberapa literasi dan sumber yang ada, banyak sekali kontribusi besar Abuya Muda Waly terhadap Republik Indonesia,” ujarnya. (ybh/nas)