BERHEMBUS angin yang mengirim pesan terkait peta koalisi partai oposisi. Santer beredar kasak kusuk bahwa tritunggal Nasdem – PKS, dan PKB akan memilih jalannya masing masing.
Gejala tersebut menjadi bagian dari perubahan dinamika politik yang signifikan yang akan terjadi pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan sengketa Pilpres 2024 yang diajukan oleh paslon 01 dan 03.
Kalau menelisik jejak rekam dan dinamika yang berkembang dewasa ini, memang cukup terasa potensi perubahan aliansi ini, terutama pada Koalisi Perubahan pendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, serta kemungkinan bergabungnya beberapa partai politik ke dalam pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Kemungkinan bubar bagi Koalisi Perubahan apabila MK memutuskan menolak gugatan paslon 01 dan 03. Dalam skenario ini, partai-partai yang sebelumnya mendukung Anies-Muhaimin seperti PKB dan Nasdem, diprediksi akan beralih aliansi menuju Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung Prabowo-Gibran.
Hal ini disinyalir karena PKB dan Nasdem dinilai akan lebih nyaman dan mendapat keuntungan politis serta ekonomis dengan bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran. Disamping memang keduanya tak memiliki riwayat darah DNA sebagai oposisi.
Demokrasi dan Jalan Pencerahan
Di sisi lain, PKS diyakini akan tetap memilih jalur sebagai oposisi. Hal ini jika kita menyoroti hubungan yang kurang baik antara PKS dan Prabowo, terutama setelah Prabowo masuk ke pemerintahan Presiden Joko Widodo pada tahun 2019. Oleh karena itu, kemungkinan PKS untuk bersama Prabowo dalam waktu dekat dinilai kecil.
Alhasil, ada peluang bagi PDI-P dan PKS untuk menjalankan peran oposisi. Kedua partai ini dianggap memiliki ideologi yang kuat, sehingga lebih militan dalam menjalankan peran oposisi.
Namun, satu hal yang mendasar dan inilah yang mensyaratkan demokrasi yang sehat, bahwa oposisi dan koalisi pemerintah sama terhormatnya. Lebih dari itu, peran oposisi penting dalam menjaga keseimbangan politik sebuah negara dalam iklim demokrasi yang sehat. Tanpa oposisi yang kuat, mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi dapat terganggu.
Dengan berbagai kemungkinan perubahan aliansi dan dinamika politik pasca putusan MK terkait gugatan Pilpres 2024, terdapat potensi pergeseran kekuatan politik yang signifikan di level nasional.
Seiring waktu, rakyat pun akan membaca ini dan pelan pelan memahami arah pergerakan politik serta dinamika kekuatan partai politik pasca putusan MK. Pihak-pihak terkait perlu memperhitungkan strategi politik yang tepat guna mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut.
Pada akhirnya kedewasaan dan pikiran waras harus menjadi panglima dalam melihat pertarungan politik yang selalu sarat dengan gimmick dan siasat berkompromi.
Ya, adagium populer ini akhirnya perlu kembali kita segar segarkan: dalam politik tak ada teman dan musuh abadi. Yang abadi adalah kepentingan masing masing. Homo homini lupus, kata Plautus.
Berbagai harapan tinggi kepada figur dan partai politik memang sejatinya tak perlu muluk muluk. Sebab, mereka adalah manusia yang bisa berubah sejalan dengan apa yang merangsang insting “serigalanya”.
Menggantungkan nasib pada mereka seringkali akhirnya lebih banyak mengecewakan dan akhirnya ditangisi. Kondisi ini tampaknya masih akan kita jalani dalam waktu yang lama, tetapi gerakan pencerahan harus terus dilakukan karena inilah jalan Tuhan.[]
EDITORIAL NASIONAL.NEWS