Penangkapan Rodrigo Duterte dan Implikasinya dalam Hukum Internasional

PENANGKAPAN mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, pada 11 Maret 2025 di Bandara Internasional Manila, dan pengangkutannya ke Den Haag, Belanda, untuk menghadapi persidangan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menandai titik balik signifikan dalam penegakan hukum internasional terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan.

duterte

Duterte, yang memimpin Filipina dari 2016 hingga 2022, dituduh bertanggung jawab atas ribuan kematian dalam kebijakan “perang melawan narkoba” yang kontroversial. Penangkapan ini, yang dilakukan berdasarkan surat perintah ICC, memunculkan pertanyaan mendasar tentang yurisdiksi, akuntabilitas, dan konsistensi dalam penerapan hukum internasional, terutama ketika dibandingkan dengan kasus lain seperti Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.

Bacaan Lainnya

Konteks Penangkapan Duterte

Kebijakan “perang melawan narkoba” yang diluncurkan Duterte pada 2016 menjadi jargon utama kampanye kepresidenannya. Dengan janji untuk “membersihkan” Filipina dari narkotika, Duterte secara terbuka mendorong polisi dan bahkan warga sipil untuk membunuh tersangka pengedar dan pengguna narkoba.

Data resmi kepolisian Filipina mencatat 6.248 kematian dalam operasi anti-narkoba antara Juli 2016 dan April 2022. Namun, kelompok hak asasi manusia seperti Human Rights Watch memperkirakan angka sebenarnya bisa mencapai 30.000, termasuk eksekusi di luar hukum oleh kelompok vigilante yang diduga mendapat restu negara.

ICC memulai investigasi pada 2021, mencakup periode sejak November 2011—saat Duterte masih menjabat sebagai Wali Kota Davao—hingga Maret 2019, sebelum Filipina menarik diri dari Statuta Roma pada 2019.

Penangkapan Duterte di Manila dan pengiriman ke Den Haag menunjukkan bahwa ICC tetap mengklaim yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi saat Filipina masih anggota, sebuah prinsip yang didukung oleh Pasal 127 Statuta Roma.

Meskipun pemerintah Filipina di bawah Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. awalnya menolak kerja sama, tekanan internasional dan eksekusi surat perintah melalui Interpol tampaknya memaksa kepatuhan. Langkah ini memperkuat argumen bahwa penarikan diri dari ICC tidak serta merta menghapus tanggung jawab atas kejahatan masa lalu.

Perspektif Hukum Internasional

Secara logis, penangkapan Duterte didukung oleh bukti substansial yang dikumpulkan ICC. Jaksa ICC, Fatou Bensouda, pada 2018 menyatakan adanya “dasar yang masuk akal” untuk meyakini bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan—khususnya pembunuhan—telah terjadi dalam skala sistematis.

Laporan investigasi menyoroti pola eksekusi ekstrayudisial, minimnya penyelidikan terhadap pelaku, dan pernyataan publik Duterte yang secara eksplisit mendukung kekerasan, seperti “Saya akan dengan senang hati membantai tiga juta pecandu narkoba.” Data ini diperkuat oleh kesaksian korban, laporan forensik, dan dokumentasi independen oleh organisasi seperti Amnesty International.

Dari perspektif hukum internasional, kasus Duterte memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 7 Statuta Roma: serangan sistematis terhadap penduduk sipil dengan pengetahuan dan niat dari pelaku.

Berbeda dengan kejahatan perang yang memerlukan konteks konflik bersenjata, kejahatan terhadap kemanusiaan dapat terjadi dalam masa damai, menjadikan kebijakan Duterte sebagai kandidat kuat untuk diadili.

Penangkapan dan pengiriman ke Den Haag juga menggambarkan efektivitas mekanisme Interpol dalam mengeksekusi surat perintah ICC, meskipun Filipina bukan lagi anggota.

Implikasi Yurisdiksi

Penangkapan Duterte menawarkan beberapa implikasi penting. Pertama, ini memperkuat preseden bahwa pemimpin negara tidak kebal dari hukum internasional, sebuah prinsip yang ditegaskan sejak Pengadilan Nuremberg.

Kedua, kasus ini menguji batas-batas kedaulatan nasional versus yurisdiksi internasional, terutama dalam konteks negara yang telah menarik diri dari ICC. Ketiga, keberhasilan penangkapan ini dapat meningkatkan legitimasi ICC di tengah badai kritik bahwa pengadilan ini bias terhadap negara-negara berkembang, mengingat sebagian besar terdakwa sebelumnya berasal dari Afrika.

Namun, proses ini juga menimbulkan tantangan. Penolakan awal Filipina untuk bekerja sama dan kecaman dari sekutu Duterte—seperti Salvador Panelo yang menyebut penangkapan “melanggar hukum”—menunjukkan resistensi politik yang dapat melemahkan otoritas ICC.

Selain itu, kondisi kesehatan Duterte yang rapuh (usia 79 tahun dan terlihat menggunakan tongkat) dapat memicu debat etis tentang kelayakan persidangan, meskipun ICC memiliki prosedur untuk menangani terdakwa dalam kondisi tersebut.

Konsistensi ICC Diuji

Meskipun penangkapan Duterte merupakan kemenangan simbolis bagi ICC, konsistensi pengadilan ini dipertanyakan ketika dibandingkan dengan kasus Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.

Pada November 2024, ICC menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap keduanya atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza, termasuk penggunaan kelaparan sebagai senjata dan pembunuhan massal.

Namun, hingga 12 Maret 2025, keduanya tetap bebas, bahkan secara terbuka mengecam ICC dan mengancam sanksi balik, didukung oleh sekutu kuat seperti Amerika Serikat.

Perbedaan ini menyoroti dinamika politik dalam hukum internasional. Israel, yang bukan anggota ICC, menolak yurisdiksi pengadilan, sementara AS—meskipun juga bukan anggota—memiliki pengaruh geopolitik untuk melindungi sekutunya. Sebaliknya, Filipina, meskipun telah menarik diri, tidak memiliki daya tawar serupa, membuat Duterte lebih rentan.

Data menunjukkan bahwa dari 11 vonis ICC hingga 2025, mayoritas terdakwa berasal dari negara-negara dengan posisi lemah secara geopolitik, seperti Kongo dan Uganda, sementara pemimpin dari negara kuat seperti Rusia (Vladimir Putin) atau Israel jarang menghadapi eksekusi efektif.

Kritik ini mengarah pada pertanyaan mendasar: apakah ICC benar-benar alat keadilan universal, atau sekadar instrumen yang efektif hanya terhadap negara-negara tertentu?

Penangkapan Duterte mungkin dipuji sebagai langkah menuju akuntabilitas, tetapi kebebasan Netanyahu dan Gallant menunjukkan bahwa kekuatan politik sering kali mengalahkan hukum.

Dalam jangka panjang, inkonsistensi ini dapat merusak kredibilitas ICC, memperkuat narasi bahwa hukum internasional adalah “hukum pemenang” yang selektif.[]

EDITORIAL

Pos terkait