Penghapusan Presidential Threshold dan Momentum Resolusi Politik Umat

AWAL tahun 2025 seolah menjadi angin segar bagi demokrasi di negeri ini usai Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan capres dan cawapres pada Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

politik islam

Keputusan MK untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20% ini tentu saja menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Kebijakan ini langkah besar menuju sistem politik yang lebih adil, terbuka, dan inklusif.

Secara khusus, bagi umat Islam, keputusan ini juga membuka ruang refleksi tentang bagaimana memosisikan politik Islam dalam kerangka demokrasi modern tanpa melupakan esensi daripada tujuan syariat agama (maqashid syariah), yaitu menjaga agama (hifdz ad-din), menjaga jiwa (hifdz an-nafs), menjaga akal (hifdz al-aql), menjaga keturunan (hifdz an-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-maal).

Momentum ini harus dimaknai sebagai kesempatan untuk merumuskan kembali arah politik umat Islam secara lebih universal, komprehensif, dan tidak eksklusif. Dengan mengutamakan nilai-nilai maqashid syariah, politik Islam dapat menjadi katalis bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Implikasi Penghapusan

Menurut hemat saya, penghapusan ambang batas ini setidaknya memiliki tiga implikasi strategis, baik dari perspektif demokrasi maupun dalam konteks politik Islam. Implikasi Pertama, meningkatkan kompetisi politik yang sehat.

Dengan tidak adanya syarat 20% kursi parlemen atau suara nasional untuk mencalonkan presiden, peluang bagi tokoh-tokoh potensial yang sebelumnya terhambat oleh kendala administratif menjadi lebih terbuka. Ini akan memperkaya alternatif kepemimpinan nasional dan memungkinkan masyarakat memilih calon yang benar-benar representatif.

Kedua, mendorong keadilan dan kesetaraan dalam sistem pemilu. Seperti kita pahami, sistem presidential threshold selama ini dianggap membatasi hak politik partai-partai kecil untuk mengusung calon presidennya.

Maka, dengan penghapusan aturan ini, semua partai, termasuk partai berbasis Islam, memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam penentuan arah kepemimpinan nasional.

Implikasi berikutnya, keputusan ini sedikit banyak akan menekan polarisasi politik. Dalam sistem sebelumnya, dominasi partai besar dalam menentukan calon presiden sering kali menciptakan polarisasi di masyarakat. Dengan lebih banyak calon yang memiliki latar belakang beragam, masyarakat akan memiliki lebih banyak pilihan sehingga mengurangi potensi keterbelahan sosial-politik.

Relevansi Politik Islam

Islam, sebagai sistem nilai yang komprehensif, menawarkan pandangan holistik tentang kehidupan, termasuk dalam bidang politik. Dalam konteks politik Islam di Indonesia sebagai negara bangsa (nation state), maqashid syariah menjadi pijakan penting untuk memastikan bahwa praktik politik tidak hanya bersifat pragmatis, tetapi juga sejalan secara universal dengan tujuan luhur syariah.

Dalam kerangka ini, menjaga agama (hifdz ad-din), yakni, berarti nilai politik Islam yang dianut harus diarahkan untuk melindungi kebebasan beragama, baik bagi umat Islam maupun umat agama lain. Dengan demikian, praktik politik tidak boleh menjadi alat untuk memaksakan kehendak kelompok tertentu, melainkan sebagai medium untuk memperkuat nilai-nilai agama yang universal, seperti keadilan, kejujuran, dan perdamaian.

Lalu, menjaga jiwa (hifdz an-nafs), artinya, menjadikan arah politik Islam berperan dalam menciptakan sistem yang melindungi nyawa dan keselamatan masyarakat. Kebijakan publik yang dihasilkan harus memastikan bahwa hak hidup setiap individu dihormati, termasuk dengan memastikan keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat.

Kemudian, menjaga akal (hifdz al-aql), dengan menjadikan pendidikan dan akses terhadap informasi yang benar sebagai elemen penting dalam politik Islam. Umat harus didorong untuk memiliki pemahaman yang mendalam dan kritis terhadap isu-isu politik agar tidak mudah terprovokasi atau dimanipulasi oleh kepentingan tertentu.

Berikutnya adalah menjaga keturunan (hifdz an-nasl), dimana politik Islam harus mendukung kebijakan yang melindungi nilai-nilai keluarga dan moralitas. Hal ini mencakup perlindungan terhadap anak-anak, pemberdayaan perempuan, dan penguatan institusi keluarga sebagai pilar utama masyarakat.

Dan, terakhir, menjaga harta (hifdz al-maal), dengan sistem pengelolaan keuangan negara yang dilandasi oleh prinsip keadilan dan transparansi. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme harus diberantas karena bertentangan dengan maqashid syariah. Politik Islam harus memperjuangkan distribusi kekayaan yang adil dan pengentasan kemiskinan.

Disamping itu, dalam menghadapi realitas politik yang dinamis, umat Islam perlu memiliki resolusi politik yang jelas dan strategis. Hal ini dapat diwujudkan setidaknya melalui beberapa langkah berikut.

Pertama, membangun kesadaran kolektif, bahwa tujuan politik Islam tidak semata-mata untuk memperoleh kekuasaan, tetapi untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Perbedaan pandangan atau metode dalam berpolitik seharusnya tidak menjadi alasan untuk perpecahan, melainkan dijadikan sebagai kekayaan intelektual yang saling melengkapi.

Kedua, menghindari klaim kebenaran tunggal. Dalam hal ini, tidak ada satu pun kelompok atau partai politik yang dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya representasi politik Islam. Politik Islam harus dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan syariah, bukan sebagai tujuan itu sendiri.

Ketiga, memperkuat kolaborasi antarkelompok dan mengutamakan kerja sama dalam menghadapi tantangan politik. Dengan berkolaborasi, partai dan kelompok Islam dapat memperkuat posisi mereka dalam sistem politik tanpa harus saling menjatuhkan.

Keempat, mengusung visi politik Islam yang mengedepankan inklusifitas dan universalitas. Sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam mengajarkan bahwa politik harus membawa manfaat bagi semua orang, tanpa memandang agama, suku, atau golongan.

Dan, yang tidak kalah penting, adalah berupaya menyelaraskan agenda politik dengan maqashid syariah. Setiap kebijakan atau program politik yang diusung oleh umat Islam harus dievaluasi berdasarkan maqashid syariah. Hal ini memastikan bahwa politik Islam tetap relevan dan kontributif dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat kontemporer.

Sebagai bagian entitas umat Islam di Indonesia, ormas Islam memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran politik umat. Ormas menjadi motor penggerak untuk menyatukan umat Islam di bawah tujuan bersama yang berlandaskan maqashid syariah.

Dengan adanya kesadaran semacam ini, ormas Islam tidak perlu lagi terjebak dalam kegamangan pilihan politik setiap kali pemilu, tetapi dapat fokus pada pembinaan umat dan penguatan basis nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Di waktu yang sama, visi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud dalam realitas politik Indonesia.[]

*) Adam Sukiman, penulis adalah intern researcher di Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) dan Ketua Pengurus Wilayah Pemuda Hidayatullah Daerah Khusus Jakarta.

Pos terkait